Cari di sini, Bos

Sabtu, 08 Juni 2013

JKT48 : The Dark Diary 2

Oh Tuhan, ramalan itu terjadi! Saat menulis diary ini, tanganku masih gemetaran. Jadi ma’af kalau agak sulit dibaca. Duh, kalian ingat kan ramalan Jhan hari Jum’at lalu. Aku bingung gimana musti nyeritainnya nih.

Siapa sih yang gak kaget sewaktu masuk ke kelas ternyata susunan kursi dan meja sudah berubah? Seluruh meja ditumpuk di belakang kelas dan ke 25 kursi disusun membentuk lingkaran. Pak Richard berdiri di tengah formasi itu. Dan semua anak telah duduk di kursinya masing-masing, terkecuali aku.

“Seperti biasa, paling terlambat, nomor 4 akhirnya kau datang juga.” Si drakula itu, darimana dia tahu aku selalu paling terakhir masuk kelas? Apa ada di antara kalian yang melapor? Dasar pengadu.

Kulanjutkan yah, si drakula Richard menyuruh kita memilih kursi sesuai yang kita inginkan. Setelah kita semua duduk dia memerintahkan menghapal urutan siapa duduk dimana dan siapa duduk di sebelah siapa.

Tiba-tiba lampu dipadamkan, ruangan menjadi gelap total. Ada dua anak yang berteriak, sementara Sonya berteriak kaget dan histeris, Nabilah malah berteriak genit. Anak itu selalu saja berusaha menarik perhatian orang lain.

“Diam!” perintah Pak Richard. Uh, siapa juga yang mau ngobrol dalam gelap. “Nomor 16.” panggilnya.

“Eh, ya… pak.” Haha, Cleo kukira bakal dimarahi, tapi ternyata Pak Richard malah berkata, “Siapa yang dijepit nomor 2 dan 6?”

“Mmm…” Cleo pasti bingung sekali. Dia menjawab, “Rudy?”

Pak Richard langsung mendecak kesal, “Jawab dengan nomor urut, bukannya nama!” bentaknya.

Pasti Cleo jadi keder, dia minta ma’af berulang-ulang dan menyebut suatu nomor.“Nomor 19, Pak Richard.”

“Bagus, selanjutnya nomor 24.” (Kalian juga mendengar Radith menelan ludah kan?) “Siapa yang duduk lima kursi dari sebelah kananmu?” tanya Pak Richard.

Kayaknya kita (apalagi Pak Richard) sudah kelamaan nunggu jawaban Radith sewaktu dia menjawab lemah, “Saya tidak tahu.” Ruangan sejenak jadi hening.

“Gagal,” seru Pak Richard pendek.

Pertanyaan terus bergulir, semakin lama semakin susah, anak yang tidak berhasil menjawab tidak diberi pertanyaan lagi. Aku curiga ini semacam tes untuk nunjukin siapa yang paling pintar atau punya ingatan paling kuat di kelas kita.

Saat aku sedang berusaha konsentrasi, Micah yang duduk di sebelahku tiba-tiba berbisik. ”Gabe, boleh nggak aku pegang paha kamu?” sambil tangannya menarik rok pendekku ke atas.

”Micah, apa-apaan sih!” pekikku kaget sambil cepat-cepat membetulkan lagi rokku.

”Hihihi... cuman mau buktiin aja.” Micah tersenyum.

”Buktiin gimana?”

”Tadi aku sudah pegang paha Frieska di kamar mandi, sekarang mau pegang pahamu. Bener nggak paha Frieska lebih mulus daripada punyamu?” dia berbisik.

”Ah, itu kan omongannya si Frieska aja.” balasku berbisik. Sementara Pak Richard masih terus melempar pertanyaannya.

”Buktikan dong kalau itu salah.” tantang Micah.

”Kamu mau pegang pahaku, gitu?” aku bertanya.

”Iya, biar bisa membandingkan.” sahut Micah.

”Hm, boleh. Kenapa nggak bilang dari tadi? Kalau bilang baik-baik gini kan enak, daripada main tarik kayak tadi.” kataku menggoda. 
Pelan-pelan kutarik rokku ke atas sampai celana dalamku mengintip sedikit.

”Aku elus ya, Gabe?” Micah meminta dengan wajah penuh harap, tampak sudah tidak sabar. Aku mengangguk sambil menggigit bibir. Di kegelapan ruang kelas, kurasakan tangan nakal Micah mulai merambat di kulit pahaku.

”Oh, Tuhan... ternyata Frieska nggak ada apa-apanya dibanding kamu.” bisik Micah menggombal, tapi tak urung tetap membuatku merasa bangga.

Aktivitas kami tidak terlihat karena ruangan memang sangat gelap sekali. Aku harus menahan desahan dan rintihan agar Pak Richard tidak curiga. Sementara tangan Micah semakin leluasa mengelus pahaku, kurasakan jari-jarinya mulai meraba celana dalamku searah dengan belahan vaginaku yang mulai basah. Nafasku menjadi kian cepat dan berat.

”Ehh...” aku mendesah pelan ketika jari Micah menyelinap ke balik celana dalamku dan mengelus-elus vaginaku yang baru ditumbuhi rambut-rambut halus. Kutarik celana dalamku ke samping agar jari-jari Micah lebih leluasa melakukannya.

Micah menarik paha kiriku dan ditopangkan ke pahanya sehingga kini telapak tangannya dapat memegang seluruh bagian vaginaku yang sudah sangat basah  dengan leluasa. Selain mengelus, Micah juga meremas lembut bibir vaginaku yang montok sehingga kedua bibir itu menyatu, membuat cairanku keluar semakin banyak, bahkan sampai telapak tangan Micah belepotan dibuatnya.

”Ehm...” aku menggeram ketika telapak tangan Micah mengelus klitorisku.

”Gaby!” pak Richard mengajukan pertanyaan. Meski dalam posisi melayang seperti sekarang, aku masih bisa menjawab pertanyaannya dengan benar. Aku kan murid yang pintar.

Sementara kurasakan elusan tangan Micah menjadi semakin cepat, membuat vagina dan klitorisku membengkak dan memerah tak karuan. Dan beberapa saat kemudian, aku tidak dapat lagi membendung gelora birahiku yang meledak-ledak.

”Ehmm…” dengan bibir terkatup rapat agar tidak sampai mengeluarkan suara, aku pun orgasme. Cairanku menyembur deras membasahi tangan dan lengan Micah.

”Ehh... ahh…” aku mendesah tertahan seiring rasa nikmat yang melanda tubuh mudaku. Seluruh tubuhku rasanya merinding dan bergetar. Kupejamkan mataku untuk meresapi orgasme pertamaku yang begitu nikmat.

Menyadari aku telah lemas, Micah menghentikan aktivitasnya namun telapak tangannya tetap melingkupi liang vaginaku yang masih berdenyut-denyut pelan memuntahkan sisa-sisa cairan. Kami diam beberapa saat sambil mengatur nafas masing-masing.

”Udah ah, geli.” bisikku pelan sambil mengatupkan kembali pahaku saat kurasakan jari-jari Micah mulai bergerak lagi. Kusingkirkan tangannya dari selangkanganku.

Tepat saat itu, sesi pertanyaan dari Pak Richard selesai. Inilah urutan teman sekelasku yang tersingkir sampai putaran terakhir : Radith – Shania – Ochi – Icha – Sonya – Imban – Nabilah – Andy – Rudy – Melody – Rica – Carada – Giovani – Ken – Frans – Mova – Frieska – Baddy – Fahira – Cleopatra – Jhan

Yup, tersisa empat orang yaitu aku, Haya, Micah dan si pendiam nomor 25. Tak disangka ya, meski sambil ‘main-main’, aku dan Micah lolos sampai sejauh ini.

Lampu dinyalakan. Mulailah Pak Richard menjelaskan ‘tugas’ selanjutnya secara panjang lebar. Intinya kita disuruh membentuk lima kelompok. Anak-anak yang gugur harus memilih seorang anak dari keempat anak yang tersisa. Namun hanya tersedia maksimal 7 tempat di setiap kelompok. Pembagian dimulai dari pilihan Radith.

“Si bodoh tak berotak yang cuma mengandalkan otot, siapa pilihanmu?” tanya Pak Richard.

Heh, apa seorang guru diperbolehkan berkata sekasar itu? Lebih dari itu, apa Pak Richard punya hak untuk melakukan pelecehan yang dilakukannya selama ini kepada kita?



Sudah kita duga sama-sama tak ada yang memilih nomor 25. Jadi beginilah pembagiannya :

I.       Aku, Fahira, Sonya, Mova, Melody, Frieska, Cleopatra dan Andy (satu-satunya anak cowok di kelompokku, kenapa dia memilihku?)
II.      Haya, Shania, Ochi, Imban, Baddy, Rica, Jhan dan Rudy (tak kusangka ada yang mau memilih Haya selain Shania dan Imban)
III.     Micah, Radith, Nabilah, Frans, Carada, Ken, Giovani dan Icha (cowok-cowok asyik ditambah dua cewek penggemar berat cowok)
IV.    Si nomor 25 (kasian…)

Pak Richard membagikan kamera, “Temukan seseorang bernama Imbesil di sekolah ini, foto dia sebagai bukti kalian berhasil menemukannya. Kutunggu hasilnya. Terakhir, ada hukuman apabila tak satupun dari kalian yang berhasil.”

Frans mengangkat tangannya, “Maaf, apa Imbesil itu nama asli atau julukan?”

“Nomor 9, itu adalah tugas kalian untuk mencari tahu, bukan tugasku! Dan hentikan senyuman menjijikanmu itu.” khas Pak Richard sekali jawabannya. Lagipula, cuma orang gak waras yang menganggap senyum ramah Frans menjijikkan.

Jadilah seluruh kelas berpencar ke setiap pelosok sekolah untuk mencari ‘Imbesil’. Hari yang menjengkelkan karena sama sekali tak ada yang mau menjawab jika kami bertanya, lari jika kami mendekat, dan membanting pintu sewaktu kami lewat.

Lalu kejadian itu…

Lima menit sebelum bel berbunyi, seorang anak cewek kelas III berteriak saat menemukan tubuh seorang anak cewek di dekat tangga, yang pingsan dengan leher patah. Ya… anak malang itu Frieska, sesuai ramalan Jhan.

(Gabriela Margareth Warouw)

***

Diary Hari Kedelapan



Kurasa tak ada orang yang lebih tepat daripada aku untuk menjadi penulis selanjutnya.Aku akan menulis dengan gaya berbeda. Jika ada di antara kalian yang terintimidasi atas tulisanku ini, itu bagus. Karena memang begitulah tujuanku.

Kasus : Percobaan pembunuhan?
Korban : Frieska Anastasia Laksani, anak perempuan berumur 16 tahun.
Tempat kejadian : Di sekitar tangga di lantai III.
Waktu kejadian : Lima menit sebelum bel pulang berbunyi.
Modus operandi : Korban didorong dari lantai IV saat menuruni tangga.
Kondisi korban : Koma dengan leher patah, ada dugaan gegar otak, posisi kakinya juga tidak wajar

Oh ya, sebelum ada yang protes gara-gara aku melenceng dari tujuan buku ini menceritakan peristiwa yang terjadi di kelas, maka khusus kali ini pasti ada pengecualian.Sebab kelas diliburkan! Kita semua (termasuk gadis nomor 25) menjenguk Frieska di rumah sakit. Karena itu pulalah aku dapat menginterogasi kalian satu-persatu (kecuali si nomor 25, mana mau aku ngomong sama dia).

Ini hasil penyelidikanku :

Tersangka : Seluruh anak kelas kita (sesuai ramalan Jhan)

Alibi : Betapa beruntungnya aku punya ketua kelompok sepintar Gaby yang tidak seteledor Haya atau Micah yang membiarkan seluruh anggota kelompoknya kelayapan sendirian. Kalian paham kan? Benar sekali! Seluruh anggota kelompok kami punya alibi! Kami tidak mungkin melakukan kejahatan itu karena kami selalu bersama. Memang, Mova, Sonya dan Fahira sempat pergi ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Tapi mereka bertiga, jadi alibi mereka masih cukup kuat. Berarti dari 24 tersangka, tersisa 16 tersangka. Apa kalian punya alibi?

Sialnya, aku harus membuang enam nama lagi. Haya, Shania dan Imban tak pernah berpisah seperti di lem, kecuali mereka sekongkol untuk mencelakakan Frieska, maka kusimpulkan mereka tidak bersalah (sial). Lalu Micah pasti mengikuti Radith, dan Ken akan mengekor keduanya. Jadi sisa 10 orang.

Nabilah dan Icha, dua anak ‘gila cowok’ ini bersumpah terus berada di kolam renang, mengintip cowok-cowok kelas lain sedang berenang. Dasar kurang kerjaan. Tapi keduanya punya bukti selalu ada di sana yaitu foto-foto dari kamera mereka. Di foto itu terlihat pukul berapa mereka memotretnya dan pada saat terjadinya kasus keduanya sedang sembunyi di ruang ganti cowok.

Sisa 8 orang. Selanjutnya aku mencoret Rica, Jhan dan Giovani yang bukannya mencari si ‘Imbesil’ malah berkumpul di kelas melakukan upacara yang disebut Rica ‘pemanggilan roh’. Sisa 5 orang yang tidak punya alibi kuat dan aku tahu mereka punya ‘alasan’ untuk mencelakai Freya, yaitu :

Ochi : (Sorry, Chi, terpaksa kubeberkan di sini). Kalian semua apa pernah kehilangan suatu barang di kelas dan tak pernah kembali? Nah aku tahu siapa pelakunya. Ochi! Dia kleptomania. Frieska tanpa sengaja membuka laci Ochi dan menemukan barang-barang milik kita semua di sana. Jadi tentu saja Ochi pasti marah besar pada Frieska.

Baddy : Anak ini menganggap laptopnya adalah nyawa kedua-nya. Nah, sewaktu makan siang kemarin, Frieska menumpahkan sebotol coke ke laptopnya. Bisa diduga kelanjutannya...

Rudy : Sederhana. Frieska bertanya pada Rudy dihadapan Melody, cewek yang disukainya, “Kudengar ayahmu masuk penjara ya?” Hahaha… pasti Rudi shock sekali mendengarnya.

Frans : Kalian harus kaget! Siapa yang tidak tahu Ken itu seorang homo? Brengsek lagi. Tapi apa kalian tahu Frans yang kalian anggap baik itu mau melakukan apapun untuk uang? Yup, Frieska memergoki Ken berciuman dengan Frans, kemudian Ken membayar Frans. Kaget kan?

Carada : Aku tidak begitu tahu, tapi kata Icha, dia melihat Frieska dan Carada bertengkar sabtu sore lalu. Dan Carada kan yang menceritakan ramalan Jhan pada kita. Apa dia ingin mewujudkan ramalan itu? Siapa yang tahu.

Pelaku : Itu tugas kalian untuk menebaknya. Tapi aku sudah tahu. Sangat mudah untuk dianalisa.

(Cleopatra)

Oh ya, ini lah yang dilakukan Mova, Sonya dan Fahira di kamar mandi. Mereka menceritakannya padaku sebagai alibi.

“Yah, penuh. Tinggal satu nih, Va.” kata Sonya pada Mova.

”Ya udah, kita barengan aja, teman-teman sudah pada menunggu tuh.” sahut Mova.

“Hei, aku juga ikut, kebelet pipis nih.” kata Fahira.

Kemudian mereka masuk ke kamar kecil yang tersisa. Begitu di dalam, Fahira  langsung menurunkan celana dalamnya dan duduk di kloset, cuuur… pipisnya mengalir dengan deras. Sementara Sonya dan Mova membuka pakaian olah raga mereka untuk diganti dengan seragam sekolah. Saat itulah, tiba-tiba Fahira memercikkan air ke tubuh mereka berdua.

“Auw!” teriak Sonya dan Mova kaget. “Apa-apaan sih, basah nih BH aku.” sungut Mova sambil mengelap BH-nya.

”Iya nih, Fa, BH-ku juga basah.” kata Sonya agak jengkel.

“Hihihi… maaf,” Fahira cengengesan tak bersalah.

Sejenak tampak Sonya bisik-bisik dengan Mova. Mereka berdua kemudian mendekati Fahira dengan tersenyum penuh misteri.

”Eit, mau apa kalian?” seru Fahira curiga saat Mova mendekat dari samping kanan dan Sonya dari samping kiri. Belum sempat hilang kebingungannya, tiba-tiba kedua tangannya dipegang kuat-kuat oleh mereka berdua. Tangan mereka yang satu memegang Fahira sementara tangan yang lain meremas-remas payudara Fahira yang cukup besar. Diantara mereka bertiga, Fahira lah yang memiliki payudara paling besar.

“Ahh... auw... ampun... ampun!” teriak Fahira.

“Tidak ada ampun bagimu!” kata Mova tertawa sambil terus meremas susu Fahira. Begitu juga Sonya, dia semakin bersemangat meremas payudara Fahira sampai kaos olah raganya jadi kusut.

“Ahh... nggak mau... ampun!” Fahira teriak sambil meronta sampai akhirnya bisa melepaskan diri lalu menyingkir ke pojok toilet. 
“Ih, jahat banget kalian, jadi kusut nih bajuku.” sungutnya.

”Makanya jadi anak jangan iseng! Eh, susu Fahira jadi tambah gede tuh, hihihi...” goda Mova.

”Ayo tanggung jawab kalian, aku jadi horny nih.” kata Fahira sambil bersandar di tembok.

”Sini-sini, sayang... mana yang sakit?” kata Sonya sambil mendekati Fahira.

”Ini,” kata Fahira sambil menunjuk ke arah payudaranya.

”Sini, Sonya elus-elus biar hilang sakitnya.” Sonya merangkul Fahira dari samping lalu mengelus payudara gadis itu dari luar kaos olah raganya.

“Ehh…” desah Fahira sambil memeluk Sonya juga.

Sementara itu, Mova sudah berganti pakaian lengkap. Dia cuma bisa geleng-geleng sambil tersenyum melihat tingkah laku kedua sahabatnya.

***

Diary Hari Kesembilan

Kurasa agak keterlaluan menulis hal-hal seperti yang Cleo tulis di hari sebelumnya. Masih empat hari lagi sebelum hari minggu dimana buku ini akan dibaca seluruh kelas. Dan di hari senin nanti pasti akan ada kegaduhan gara-gara tulisannya.

Selain itu, selama ini tulisan dalam buku ini terasa aneh. Selain adegan seks yang vulgar, kalian bahkan terlalu kejam dengan memvonis Gio sebagai si ‘tukang makan’. Jhan yang diberi gelar ‘peramal maut’ dan Rica dengan nama ‘darah setan’. Aku yakin nama-nama tadi pasti berasal dari Icha, ratu gosip itu (oh tidak, aku mulai ikut-ikutan).

Sebelum aku menulis kejadian hari ini, ada baiknya aku mengklarifikasi berbagai tuduhan tidak berdasar dari yang terhormat nona Cleopatra. Semoga kau berhenti bermain detektif-detektifan, karena secara tidak langsung menulis prasangka-prasangka aneh yang kau sebut sebagai ‘hasil analisa’ itu hanya akan menimbulkan rasa saling curiga. Berhenti lah! (aku mohon).

Ochi klepto?! Lalu kenapa. Jika kau pikir hanya Frieska dan dirimu (yang pasti taunya dari Frieska juga) yang tahu bahwa dia klepto, maka kau keliru. Ada empat orang lain yang tahu yaitu Sonya, Fahira, aku dan Baddy. Nah kenapa kami tidak berusaha dibunuh juga? Cobalah berpikir ke arah sana.

Bukan Frieska yang menyiram laptop Baddy, tapi si Imban. Kebetulan saja Frieska lewat saat Baddy sadar laptopnya berasap. Namun Baddy sudah tahu kok yang salah Imban.Imban selalu kabur saat dimintai pertanggungjawaban.

Rudy nggak mungkin sakit hati oleh kata-kata Frieska. Sebab Frieska mengatakannya dengan lembut dan penuh perhatian. Melody yang mendengarnya pun malah langsung berkata pada Rudy, “Yang tabah ya, Rud, saya yakin ayahmu tidak bersalah.”

Terus Carada, apa kalian pikir dia sanggup mendorong Frieska, membunuh seekor semut saja dia tidak tega.

Terakhir, aku… terserah bagaimana kalian menilainya, tapi aku tak mau berkomentar tentang adegan ciumanku dan Ken. Yang pasti kenyataannya tidak seekstrim yang Cleo tulis.

Sekarang mengenai keadaan kelas. Rabu ini tidak terlalu buruk. Kita digiring ke luar sekolah menuju perpustakaan yang memiliki gedung sendiri. Setelah semua anak masuk, aku ingat sekali yang terakhir masuk adalah Gaby yang didorong Pak Richard dengan kasar.

“Ambil satu buku atau literature apapun, resume, kumpulkan di akhir hari.” Dan dibantingnya pintu itu. Pak Richard mengurung kita di perpustakaan berdebu tersebut.

Semuanya mulai berpencar menjelajahi setiap rak-rak buku yang menjulang tinggi. Akan membosankan kalau kuceritakan secara rinci bagaimana setiap anak berhasil menemukan buku masing-masing, duduk di kursi yang  berjauhan, menulis tanpa gairah di buku catatan masing-masing, sesekali menguap, kadang-kadang melirik jam. Kita tahu pasti hari ini tak akan ada jam istirahat, otomatis tak ada makan siang pula. Hari yang menjemukan, yah masih lebih baik dibandingkan harus mendengarkan permainan biola si nomor 25 lagi.

Tapi ada satu hal menarik yang kalian mungkin ingin tahu, Rudy dan Melody sekarang sudah jadian! Coba saja lihat, hari ini mereka nempel terus bagai perangko. Berangkat berdua, duduk berdua, diskusi berdua, bahkan ke kantin juga berdua.

Aku sebenarnya tidak ada masalah dengan itu kalau saja mereka tidak berbuat mesum di depanku. Ya, mereka berpelukan dan berciuman di perpustakaan! Aku memergokinya saat sedang sibuk mencari buku di bagian terdalam perpustakaan. Dengan tangan gemetar, Rudy mengangkat dagu Melody dan dengan hati-hati mencium bibir gadis itu.

“Emm...” lenguh Melody sambil membalas ciuman Rudy dengan malu-malu. Ciuman mereka semakin dalam dan pelukan mereka pun semakin erat karena didorong oleh gejolak jiwa muda.

“Ehm...” Melody mendesah ketika tangan Rudy mengelus dan meremas lembut pantatnya dari luar seragam sekolah.

”Aku sayang banget sama kamu, Mel.” kata Rudy sambil terus meremas bokong bulat Melody.

”Iya, aku juga.” jawab Melody dengan suara mendesah nyaris tak terdengar. Tangan Rudy kini semakin liar masuk ke dalam rok seragam Melody dari bawah. Dia meremas bokong Melody yang bulat dan montok dari luar celana dalam. Pelan namun pasti, tangan Rudy merayap ke dalam celana dalam Melody melalui samping.

”Mel, bokong kamu halus dan montok banget.” suara Rudy bergetar.

”Ahh…” Melody hanya mampu melenguh menahan geli dan nikmat.

Sambil menciumi pipi dan telinga Melody, tangan Rudy semakin kuat dan dalam meremas bokong gadis itu. Rok Melody semakin terangkat dan acak-cakan. Pelukan mereka semakin rapat sehingga Rudy dapat merasakan kekenyalan payudara Melody yang montok di dadanya.

“Auhh…” Melody menggelinjang ketika jari tangan Rudy yang meremas bokongnya juga menggesek vaginanya yang sudah basah berlendir.

Gerakan mereka semakin liar. Rudy semakin kuat meremas bokong Melody sambil mengelus-elus vagina gadis itu. Bokong Melody menjadi licin karena cairan vaginanya tersebar merata sampai ke bongkahan pantatnya oleh remasan Rudy yang semakin liar. Sementara gelinjang tubuh Melody semakin tidak terkendali dan pelukannya semakin erat sehingga payudaranya yang kenyal menempel makin ketat ke dada Rudy. Karena gerakan mereka yang semakin liar sehingga payudara Melody seperti diremas-remas oleh dada Rudy.

”Ahh… Rud!” desis Melody. Gerakannya sudah tidak terkontrol. Pinggulnya bergerak liar seiring dengan remasan Rudy pada bongkahan pantat dan vaginanya. Dan pada detik-detik dimana gelombang kenikmatan semakin membuncah di seluruh tubuhnya, Melody menyentakkan pinggulnya ke depan mengiringi gelombang kenikmatan yang bermuara pada vaginanya.

Sedangkan Rudy sendiri yang baru pertama kali ini menyentuh tubuh wanita, merasakan desakan dari dalam tubuhnya ketika penisnya menempel ketat pada vagina Melody yang masih tertutup celana dalam tapi sudah acak-acakan. Secara reflek dia menggesekkan penis dalam celananya ke vagina Melody. Dan beberapa saat kemudian, dengan diiringi geraman yang cukup keras, dia juga menyentakkan pinggulnya keras-keras ke depan.

“Arghhh…!!!” geram Rudy mengiringi muncratnya sperma di dalam celananya. Mereka berpelukan dengan sangat erat menikmati rasanya terbang ke surga untuk pertama kali.

Kutinggalkan mereka berdua. Aku sudah menemukan buku yang kucari. Oh ya, berikut daftar buku yang kita pilih :

• Baddy : Linux di tahun 2007
•Cleopatra : Kasus-kasus tak terpecahkan dan misteri yang belum terungkap dalam kepolisian USA
• Jhan : Kartu tarot Major Arcana
• Nabilah : Pementasan balet Rusia
• Ochi : (Dia meresum 10 buku, jadi kurasa tak usah kutulis saja)
• Fahira : Deret bilangan trigonometri
• Gaby : Goose (novel berbahasa Inggris)
• Haya : Molekul larutan asam basa
• Imban : Ferrari Vs BMW
• Melody : Trik memilih kain berkualitas
• Gio : Pasta dan sphagetti
• Radith : Sejarah baseball
• Micah : Anatomi hewan
• Ken : Membentuk pribadi model
• Rica : Hal-hal yang seharusnya bisa semua orang lihat
• Sonya : Komposisi falseto dalam sebuah tarikan suara
• Mova : Ragam perspektif dalam sketsa
• Carada : Skrip drama Hamlet
• Rudy : Perbankan dan lembaga keuangan lainnya
• Andy : Angkasa raya
• Shania : Metode mengajar berbagai usia
• Icha : (Dia meresum setumpuk tabloid gosip)
• Aku : Bagaimana cara memperbanyak teman

Kalian tahu judul buku yang dipilih si nomor 25? ‘Mutilasi’. Hiii… makin hari makin mengerikan saja cewek ini.

Pengisi selanjutnya diary ini adalah Baddy, sayang dia malas menulis makanya dia lebih memilih menulis di laptopnya, dia cetak, selanjutnya ditempel di buku ini.

Bye…

(Frans Lephard)

***

Diary Hari Kesepuluh

Begin.

Di sini segala sesuatunya terasa ‘kuno’ bagiku. Bukankah tekhnologi telah menelurkan berbagai alat yang berguna untuk mempermudah semua aspek kehidupan manusia?

Untuk apa menulis surat biasa yang baru sampai di tempat tujuan (paling cepat) besok harinya? Bukankah ada e-mail yang bisa sampai dalam hitungan detik? Tekhnologi itu hebat. Dan hanya orang-orang bodoh yang tidak mau mempergunakannya.

Sama seperti kalian semua, menulis sesuatu di sebuah buku seperti ini? Apa kalian pernah memandang jauh ke depan bahwa pada suatu hari nanti buku ini akan rusak, entah itu dimakan rayap, robek karena basah, kehujanan atau yang paling parah, hilang. Kalau ingin menulis sesuatu, tulislah di komputer. Berupa file yang bisa diperbanyak dalam jumlah tak terbatas.

Pak Richard tidaklah seburuk yang kalian sangka dan tulis. Kalau kalian mau (dan berusaha) membuka sedikit akal sehat, kalian maka pasti akan menyadari potensi yang dimiliki beliau. Wajar sekali kalau beliau terlihat mendiskriminasikan beberapa orang karena menurutku orang itu memang pantas didiskriminasikan. Paham?! Kurasa tidak…

Contohnya adalah mind game yang diadakan Pak Richard hari ini. Aku berani bertaruh cuma seperempat dari kita yang bisa menebak tujuan dari permainan ini.

Game pertama adalah halma, sederhana? Tidak! Kalian mungkin hanya memainkannya saat iseng. Tapi ini lebih dari pertarungan strategi. Melatih pengaturan langkah demi langkah. Menyusun formasi lompatan terbaik yang bisa dilakukan.

Dua belas set halma dibagikan dan pasangan ditentukan oleh undian. Berikut datanya (yang kucetak tebal adalah yang menang) :

  • Rica Vs Imban : ternyata Imban lebih bodoh dari perkiraanku.
  • Nabilah Vs Icha : tukang teriak Vs tukang gosip.
  • Carada Vs Cleopatra : pertarungan aneh dengan Carada yang terus menerus tertawa sepanjang pertandingan.
  • Rudy Vs Ken : hasil yang sudah bisa ditebak.
  • Ochi Vs Frans : good work, Frans.
  • Jhan Vs Giovani : yah, ujung-ujungnya si Nabilah-lah yang rebut bersikeras Jhan memenangkannya karena kekuatan supranaturalnya.
  • Shania Vs Fahira : pemikiran yang cukup sistematis dari Fahira, akhir yang membuat Shania bete karena intimidasi Fahira.
  • Sonya Vs Melody : keduanya tampak tidak peduli siapa yang menang, Sonya bahkan lebih memperhatikan omongan Melody daripada memikirkan jalannya pertandingan (faktanya, dia menang secara kebetulan)
  • Gaby Vs Radith : jelas siapapun bisa menang kalau melawan ‘si otot tanpa otak’.
  • Haya Vs Mova : Mova sebenarnya bisa menang kalau saja Haya bisa berhenti menutup mulutnya.
  • Aku Vs Andy : kemenangan mutlak.
  • Micah Vs si nomor 25 : Micah berusaha ramah tapi kita tau dia ketakutan.

Pertempuran medan perang halma pun selesai, Pak Richard membuka kotak hitam yang dibawanya. Setelah memerintahkan Radith menyusun enam meja (yang dituruti Radith dengan bersungut-sungut; Micah, Ken dan Giovani membantunya), Pak Richard meletakkan sebuah papan catur di setiap meja. Lagi-lagi pasangan ditentukan melalui undian.

Frans Vs Rica
Frans awalnya tidak serius meladeni Rica yang bertanding sembari terus menatap lantai. Akan tetapi saat Frans sadar kedua kudanya sudah dimakan, dia mulai menyerang balik. Tapi terlambat, Rica menang dan bertanya pada Pak Richard, “Kata Bapak kalau saya memenangkan pertandingan ini saya akan mendapat hadiah, apa itu benar?”

Sebagai jawaban untuk pertanyaannya, Pak Richard mengeluarkan sebuah kaset video dan mengulurkannya pada Rica. Rica membaca judul video itu dan tersenyum. Video apa itu?

Nabilah Vs Nomor 25
Hahaha… Cherry yang malang. Baru tiga langkah dia sudah menangis dan memeluk Frans yang berada di dekatnya. “Nabilah menyerah…” isaknya. Si nomor 25 mendapat sebuah kotak kecil dari Pak Richard, yang diintipnya perlahan, kemudian pergi ke sudut ruangan dimana matanya terus menatap isi kotak. Apa isinya?

Jhan Vs Cleopatra
“Aku punya syarat untukmu sebelum kita memulainya,” bisik Jhan, sok misterius seperti biasa.

“Apa itu?” tantang Cleo, sok jadi detektif kesiangan seperti biasa.

“Kalau kau kalah, aku ingin kau menjawab tiga pertanyaanku.”

“Baik, tapi kalau kau yang kalah aku minta kau meramal tiga hal untukku.”

“Setuju,” kata Jhan yang dibalas anggukan oleh Cleo.

Jhan memalingkan wajahnya ke Pak Richard. “Saya mengundurkan diri, Pak.”

Cleopatra tersentak, “Apa-apaan kamu, kita kan belum bertanding?”

“Itu tidak penting.” enteng sekali jawaban Jhan.

“Kau sengaja kan!” tuduh Cleo. “Sengaja mencari sensasi, sejak awal kau sudah merencanakan agar aku terpancing untuk minta ramalanmu. Lalu kau mundur dari pertandingan. Kau pikir aku akan dengan senang hati minta diramal? Oh! You wish!!!”

Jhan batal membalas saat Pak Richard membentak keduanya. Kapok!

Cleo tidak mendapat hadiah. Pak Richard menyebutnya ‘menang tanpa usaha’.

Rudy Vs Sonya
Rudy kembali menang dengan mudah. Bintang keberuntungan bersinar terang untuknya.Lawan-lawannya selalu lemah. Selain itu kudengar dia sudah sering memainkannya dengan ayahnya yang Direktur Utama beberapa
perusahaan berskala internasional.

Gaby Vs Haya
Haya menggunakan taktik yang sama seperti waktu melawan Mova, mengecoh lawan dengan mengajaknya bicara. Tapi dia kena batunya! Gaby  tidak termakan siasat bodoh semacam itu. Yang ada malah Haya kehilangan konsentrasi. Gaby menutup dengan indah lewat kata-kata, ‘skakmat!’ Anehnya, Gaby menolak hadiah yang ditawarkan Pak Richard untuknya.

Aku Vs Fahira
Fahira anak yang penuh perhitungan. Setiap langkah dilakukannya dengan cermat. Aku jadi bosan dibuatnya. Dia terlalu lama berpikir. Untuk mengisi waktu, setelah melihat keadaan sekitar, kujulurkan kakiku ke depan. Saat itu aku memang belum sempat memakai sepatu karena baru balik dari kamar mandi.

Menggunakan ujung kaki kanan, perlahan kugeser kedua kaki Fahira ke kanan dan ke kiri. ”Hei, apaan sih?” dia memang sempat membentak, tapi tidak menolak.

”Terus saja main. Siapa tahu dengan begini, kamu bisa menang.” aku menelan ludah merasakan paha mulus Fahira di bawah meja. Dia pun kembali konsentrasi ke papan catur, membiarkanku membuka pahanya makin lebar. Bisa kurasakan pangkal paha Fahira yang putih mulus dengan celana dalam menggembung lembut berisi daging kemaluannya. Dengan menggunakan jari-jariku, kuelus paha gadis itu dari atas sampai ke bawah.

Sambil menggerakkan bidaknya, Fahira memandangku sayu, terlihat sekali kalau dia sangat menikmati elusan jari-jariku. ”Ehh...” lenguhnya tertahan ketika jempol kakiku menekan gundukan di celana dalamnya, tepat di bagian klitorisnya.

Aku duduk bersandar di tembok sambil sesekali melihat keadaan sekeliling, berjaga-jaga kalau ada yang melihat, sedangkan jempol kakiku terus mengelus dan menekan vagina Fahira yang masih terbungkus celana dalam.
Melihat keadaan cukup kondusif, karena teman lain sibuk dengan papan catur masing-masing, kubuka resleutingku dan kukeluarkan penisku yang sudah tegak berdiri lalu kukocok-kocok pelan.

Di depanku, Fahira mendesah sambil tersenyum manja melihat kelakuanku. Aku memberi isyarat padanya agar menarik celana dalamnya ke samping, dan Fahira mematuhinya. Dengan tangan kirinya, dia menyingkap celana dalam putihnya ke samping sehingga lubang vaginanya yang montok menggembung dan berambut tipis tidak terhalang lagi.

”Wow!” erangku perlahan sambil mengelus penisku makin cepat melihat vagina Fahira yang basah, tampak banyak lendir bening di permukaannya yang berbulu halus. Perlahan jempol kakiku menggeseknya, dari bawah ke atas, benda itu terasa licin dan hangat.

”Ehh…” mata Fahira terpejam sambil tetap memegangi celana dalamnya ke samping. Kutekan vagina dan kelentitnya makin kuat hingga membuatnya agak memundurkan pantat sedikit, namun geli dan nikmat yang ia rasakan membuat dia memajukannya lagi. Fahira menyongsong jempol kakiku, membiarkanku mengobel lubang vaginanya yang terasa semakin basah.

Perbuatannya itu membuatku makin bernafsu. Kukocok penisku semakin cepat sambil kugerakkan jempolku menekan dan menggosok klitorisnya. Fahira menyambutnya dengan memutar dan memajukan pantatnya, sehingga vaginanya tertekan semakin kuat.

Merasa gejolak nafsunya sudah tak tertahan lagi, Fahira berinisiatif menggunakan jari-jari tangan kanannya untuk mengelus klitorisnya sendiri, sedangkan jempol kakiku tetap menggosok dan menekan lubang vaginanya. ”Ehh… ehhh…“ diiringi lenguhan pendek tertahan, dia memejamkan matanya sambil menggeliat ke depan, memajukan pantatnya dan melepas orgasmenya yang begitu menggetarkan jiwa. Kurasakan vaginanya berdenyut cepat saat Fahira menyemprotkan cairan cintanya.

Ekspresi orgasme Fahira membuat darah dan birahiku semakin mendidih. Sambil terus menekan jempol kakiku semakin dalam, kukocok penisku dengan cepat dan kuat hingga akhirnya, “Erghh… ahh…” aku menggeram sambil memejamkan mata saat cairan spermaku meledak keluar.

Sialnya, gara-gara orgasme itulah, Fahira jadi menang. Dia memberiku skak mat! Gaby langsung mengucek rambut hitam Fahira sebagai ucapan selamat. Hadiah kemenangan Fahira adalah seikat dupa yang bungkusnya berukir naga.

Di akhir hari Pak Richard berkata, “Cukup. Pelajaran akan dilanjutkan besok.”

End.

(Parn Baddy)

***

Diary Hari Kesebelas

Melelahkan, itulah yang kurasakan sebagai nomor urut 1. Aku memilih tempat duduk di ujung kiri depan sebab di sanalah titik terdekat dengan pintu. Kupikir aku bisa sesekali melirik ke luar ruangan karena aku benci berada di kelas tanpa jendela ini. Ternyata pintu malah ditutup sepanjang hari. Ditambah lagi speaker yang mengeluarkan musik miris itu tepat berada di atas pintu. Lengkaplah sudah penderitaanku.

Eh, tapi sebelumnya aku ingin bertanya, bener Melody sudah jadian sama Rudy? Kok sepertinya kalian anteng-anteng saja, mana nih tanggapannya!

Tiga hari yang lalu, aku diam-diam merekam musik hantu tersebut. Memutarnya di depan bunda. Beliau terkejut. Menurut bunda musik tersebut biasanya mengiringi pemakaman raja-raja Romawi jaman dulu. Beliau juga bertanya darimana aku mendapatkannya. Kubilang itu tugas sekolah. Ah, andai beliau tahu yang sebenarnya.

Baddy lucu ya. Padahal dari tulisannya kita akan menarik kesimpulan bahwa dia benci buku ini. Lalu kenapa dia menulis lebih panjang dari yang lain? Dan juga, dia sangat beruntung karena bisa ngocok bareng Fahira.

Mimpi burukku takkan bisa lebih nyata dari hari ini. Aku takkan tahan untuk tidak histeris. Aku iri pada Rica, Gaby, Fahira, Rudy dan gadis no. 25 yang tidak perlu mengalami yang kita rasakan karena mereka memenangkan pertandingan kemarin. Cleopatra dicoret dari daftar. Kemenangannya dianggap tidak sah.

Sisanya, kita, bagai domba-domba yang siap dipotong, mengikuti Pak Richard menuju lab kimia. Aku ingat Haya tersenyum dan menyombongkan diri pelan pada Imban dan Shania. Dikiranya (dan kita semua kira) kita akan melarutkan senyawa-senyawa (apalah namanya) hari ini.

Memang ada ratusan gelas kimia, tabung reaksi dan pipa kapiler di sana-sini. Teratur rapi di setiap meja yang mengilap karena baru dipoles.

Memang kita bersiap-siap di setiap meja praktek menunggu instruksi Pak Richard. Memakai seragam lab putih bersih yang membuat kita mirip serombongan peneliti profesional.

Namun kita semua terkecoh.

Pak Richard keluar dari lab kimia tanpa mengatakan sepatah katapun. Mengunci pintu. Mematikan lampu. Dan aku tak ingat apapun sesudahnya.

Yang kurasakan berikutnya adalah tepukan lembut di pipiku. Saat kubuka mata, wajah tegang Carada yang disinari lilin adalah hal pertama yang kulihat. Kemudian Icha menghampiriku dan dengan bersemangat menceritakan semuanya. Diawali aku pingsan setelah berteriak histeris; Mova yang berhasil menemukan lilin; Andy yang menemukan korek api tanpa sengaja; Shania yang berkali-kali menabrak meja dan memecahkan belasan gelas kimia; Juga beberapa hal lain yang menurutku tidak terlalu penting sebab Icha telah membumbui ceritanya di sana-sini.

Carada menanyakan keadaanku dan kubilang lebih baik dari sebelum tidak ada cahaya sama sekali. Dia bilang dia tahu mengenai claustrophobiaku. Kemudian dia pergi mencari lilin tambahan. Badanku mulai gemetar pelan.

Seseorang menyentuh bahuku. Andy. “K-kau baik-baik s-saja kan?” bisiknya, lebih penggugup dari biasanya. “K-kami sudah t-tahu…” lanjutnya.

“Siapa? Apanya?” tanyaku lemah tidak bersemangat. Aku dapat merasakan suaraku turut bergetar.

“Bahwa kau akan pingsan di sini.” kali ini Icha yang antusias menjawab.

“Aku kurang paham maksud kalian,” tambahku.

“Sama seperti Frieska,” lirih Icha dengan mimik ketakutan yang dibuat-buat. “Jhan sudah meramalkannya dua hari yang lalu.”

Ada empat anak yang mengelilingiku dan semuanya mengangguk. Andy dan Icha sudah kusebut duluan, dua yang lain adalah Cleopatra dan Jhan.

Cleo menyodok Jhan, “Kau berhutang tiga ramalan padaku.”

“Itu yang kutunggu dari kemarin,” seru Jhan senang.

Icha meletakkan lilin di tengah lingkaran yang terbentuk oleh kami berlima. Andy mengeluarkan sebatang pensil dan mulai menggigitinya. Cleo juga mengeluarkan sesuatu dari kantung roknya, notes kecil. Lalu aku? Aku tidak peduli. Aku cuma lelah, ketakutan, bahkan tidak punya tenaga untuk sekedar meninggalkan mereka dan terpaksa mendengarkan ramalan Jhan.

Jhan memulai ramalannya dengan bersiul panjang. Haya yang berada di ujung ruangan langsung menyuruhnya diam. Tapi Jhan tidak mempedulikannya.

“Ramalan pertama,” kata Jhan.

Icha dan Andy berpegangan tangan, ketakutan. Kalau saja ruangan itu terang benderang, kalian pasti bisa dengan jelas melihat wajah mencekam keduanya. Kacamata Icha memantulkan cahaya lilin, aku kurang pasti mana yang lebih bersinar kala itu, si lilin atau matanya yang berbinar penuh gairah.

“Cepatlah!” sentak Cleo tidak sabar.

“Ramalan tidak dapat dipaksakan,” sindir Jhan.

“Stop merepet dan selesaikan ini segera!” Cleo mulai mengamuk. Seperti polisi yang kesal waktu orang yang diinterogasinya menolak membuka mulut.

Jhan terkekeh. “Oke-oke, kalian lihat gadis di sana?” Jhan menunjuk seseorang. Nabilah. “Dia akan mengalami hal tak terlupakan dalam beberapa hari ke depan.” dia berkata.

“Lebih rinci lagi…” pinta Icha pada Jhan.

“K-kapan k-kejadiannya?” kata Andy takut-takut. Anak itu bergidik ngeri. Membuatku bertanya-tanya, kenapa dia malah makin antusias kalau memang tak sanggup mendengarnya.

Tidak ada jawaban dari mulut Jhan. Dia lebih memilih melanjutkan ramalannya. “Ramalan kedua, terjadi pada salah satu di antara kalian…”

Aku tidak tahan lagi. Gemetar badanku semakin hebat

“Kami?” kata Cleo sinis.

“Ya,” Jhan tersenyum. “Ada rahasia besar yang akan terbongkar minggu depan.”

“Ih, siapa ya?” Icha melempar pandangannya ke semua orang dalam lingkaran.

“Ramalan ketiga,” potong Jhan. “Darah yang...“

Aku tidak ingat apa-apa lagi. Kurasa aku pingsan untuk kedua kalinya.

(Sonya Pandarwaman)

***

Diary Hari Keduabelas + Komentar Minggu Kedua

Yo, yoo, yooo…

Gue Radith.

Akhirnya! Sabtu terbaik dalam hidup gue! Kalian bisa aja mikir kalian hebat karena pintar atau mahir untuk segala sesuatu yang menggunakan otak.  

Terserah mau nyebut gue ‘si otot tanpa otak’. Tapi kalian harus tahu, gue punya sebutan juga buat kalian, mau tahu, kalian adalah ‘sekelompok kutu buku loyo’.

Entah kalian sadar atau tidak, olahraga itu penting. Seperti hari ini. Pak Richa-richa Memble yang gue benci itu mengadakan pertandingan basket! Luar biasa. Hari ini gak bakal gue lupain seumur hidup. Saat gue menertawakan kalian yang gagal mencetak angka satupun. Gue ulang, OLAHRAGA ITU PENTING!!!

Gue menang! Dan gue bebas memilih salah satu cewek untuk bantu gue ngeluarin sperma. Begitu kan perjanjian kita? Sudah seminggu nih calon-calon anak gue nganggur di sarangnya. Gue konak. Dan yang beruntung adalah…

Mova…!!!

C’ mon, baby. Lets do it!       

”Duh, kebelet pipis jadinya.” dengan alasan itu, Mova mengajak gue untuk pindah ke toilet. Dia tidak mau melakukan itu di tengah lapangan basket. Ah, dasar pemalu.

”Permisi, permisi yah,” penuh semangat, dia gue ikutin.

Sesampainya di toilet, gue cari-cari tuh cewek. ”Sst, sini!” Mova melongok dari salah satu bilik kamar kecil. Gue segera menyusul masuk lalu mengunci pintunya. Tanpa babibu dan banyak bicara, langsung gue peluk erat tubuh sintalnya dan gue cium bibirnya yang tipis itu dengan liar. Ah, akhirnya mimpi gue jadi kenyataan.

Nafas gue dengan cepat terengah-engah karena menahan gejolak nafsu yang sudah membuncah sejak tadi. Gue remas bongkahan pantat Mova yang montok dengan dua tangan. Gue elus-elus, raba-raba dan pijit-pijit benda itu sambil terus melumat bibir Mova yang manis kaya permen.

“Ahh... Dith!” rintih Mova tertahan, rambut gue ia jambaki saking hornynya.

Gue tarik turun rok putihnya sampai ke paha, lalu dengan tergesa-gesa dan tangan gemetar, gue buka celana dalamnya dan menurunkannya sampai ke lutut. Selanjutnya gue selipkan penis gue yang sudah menegang dahsyat diantara paha Mova yang putih mulus, lalu memeluk gadis itu dengan begitu kuatnya sehingga penis gue menggesek langsung lubang vagina Mova yang sudah sangat licin oleh lendir.

”Uhh... geli, Dith.” bisik Mova sambil melenguh.

“Ehh…” gue hanya bisa mendesah, vagina Mova terasa sangat hangat dan nikmat.

Gue remas-remas lagi bokong Mova kuat-kuat sambil gue maju-mundurkan pinggulnya sehingga kini kelamin kami tidak cuma menempel ketat, tapi sudah bergesekan erat hingga menimbulkan suara clek-clek-clek yang merdu. Gue kulum lagi bibirnya saat Mova memeluk tubuhku dan meremas-remas rambutku karena saking gelinya. Gue jilati telinga dan lehernya untuk semakin menambah daya rangsangku. Gue rasakan gerakan pinggul Mova semakin kencang dan liar, membuat kelamin kami bergesekan semakin ketat dan kuat.

”Ehh... ehhh... eehhh...” Mova melenguh panjang menyongsong orgasmenya, dan sambil menjambaki rambutku, dia menyemprotkan cairan cintanya.

Gue yang juga sudah nggak tahan, meremas dan memaju-mundurkan bokong Mova semakin kencang, dan pada saat rasa nikmat itu datang, gue sentakkan bokong Mova ke depan. “Arghhh…” diiringi erangan panjang, sperma gue muncrat banyak sekali hingga membasahi vagina, paha dan bokongnya. Untuk beberapa saat kami tetap berpelukan erat sambil menikmati orgasme yang fantastis itu.

(Radith Cobey)

***

Komentar minggu kedua

Sonya : Beneran Melody sudah jadian sama Rudy?

Ochi : -

Fahira : Heh, aku menang catur karena aku pintar lho!

Gaby  : Wow, aku sama sekali tidak menyangka kalian dikurung di lab, kami berlima (tentu termasuk si aneh nomor 25) hari itu langsung disuruh pulang oleh Pak Richard, aku dan Fahira pergi membesuk Frieska lagi.

Haya : Disuruh pulang? Tidak melakukan apapun? Enak sekali kalian! Kenapa tidak melapor padaku? Kalian sama sekali tidak menghargaiku sebagai ketua kelas kalau begini caranya!

Imban : Haya benar! Kalian harus lebih patuh pada kami! Eh, maksudku pada Haya…

Mova : Oh, buku ini sudah tidak sesuai seperti yang kumaksudkan di awal pembuatannya.Untuk Radith, mulai sekarang aku akan belajar main basket!

Nabilah : Jhan! Ramalan itu bener nggak sih? Jangan main-main dong. Nabilah takut setengah mati nih.

Frans : Ada ramalan lagi ya? Parah! Padahal kasus Frieska saja masih membekaskan trauma bagi kita semua.

Baddy : Setelah Fahirah, siapa lagi ya?

Rica : Apa isi ramalan terakhirnya?

Melody : Hei, aku dan Rudy cuma berteman kok!

Carada : Minggu yang buruk, apalagi Baddy dan Radith menulis di buku ini hanya mengandalkan emosi.

Jhan : no comment…

Frieska : -

Cleopatra : Ramalan terakhir... hanya aku, Icha dan Andy saja yang tahu.

Ken : Kuharap ramalan tentang Nabilah benar-benar terjadi!

Giovani : Ada yang punya resep cake cokelat jahe?

Rudy : Benar, kami cuma berteman. Frans aja yang salah tafsir.

Andy : aku… percaya... Jhan!

Shania : Ramalan yang mengerikan! Apa Nabilah akan mati? Kalian tahu kan, Frieska selamat, tapi siapa yang bisa menjamin Nabilah seberuntung dia? Atau tidak seberuntung dia?

Icha : Ingin tahu ramalan ketiga? Hubungi saja aku, kalian sudah tahu nomorku kan?

Micah : Semoga tidak terjadi apa-apa pada Nabilah… semoga Frieska bisa cepat sembuh…

Radith : Hahaha… Ken dan Micah berdo’a bagi dua hal yang bertentangan, do’a siapa yang akan terwujud saudara-saudara! Untuk Mova, belajar lah sampai mati, aku akan tetap bisa mengalahkanmu. Tubuhmu adalah milikku, baby.

BERSAMBUNG

1 komentar: