Cari di sini, Bos

Sabtu, 08 Juni 2013

JKT48 : The Dark Diary 3


Diary Hari Ketigabelas

Frieska masuk hari ini! Ada guru baru pengganti Pak Richard! Ups… aku Fahira, tak sabar lagi pengen melaporkan keadaan kelas hari ini.

Frieska belum sembuh total. Dia memaksakan diri datang ke kelas memakai tongkat penyangga. Jalannya terpincang-pincang. Lalu yang paling heboh adalah benda di sekeliling lehernya (kalau tidak salah katanya itu gips). Sepertinya untuk menoleh saja dia memerlukan usaha yang keras. Terlalu cepat sebenarnya, dokter menyarankannya beristirahat dulu di rumah tapi kurasa Frieska mempunyai pemikiran sendiri. Mencari tahu penyebab kecelakaannya misalnya? 

Taraaa… ini dia pengganti Pak Richard. Ada dua orang malah. Yang pertama cewek, namanya Bu Donna, cantik seperti Nabilah, rambutnya indah seperti Sonya, selera berpakaiannya elegan seperti Melody, dan gaya bicaranya tenang tapi tegas seperti Mova.

Yang kedua cowok. Pak Benny namanya. Orangnya agak linglung. Kesan pertama yang kudapat dari beliau adalah ‘kuno’. Orang biasa. Tidak menarik.

Keduanya mengajar bergantian. Meskipun jumlah mereka sangat jauh dari kata ‘cukup’. Semuanya mulai terlihat normal untukku. Jam pertama diisi Bu Donna. Di awal pelajaran, beliau membagikan jadwal pelajaran.

Jadwal pelajaran! Bayangkan! Hal remeh yang baru kita dapat setelah memasuki minggu ketiga.

Kulirik jadwal itu. Biologi… Kimia… Fisika… Matematika… PKn… Satu hari berisi tiga sampai lima jenis bidang ilmu. Normal, jadwal yang standar.

Pelajaran pertama adalah Geografi. Tiga jam pelajaran yang menyenangkan. Bu Donna tampaknya lebih tertarik mengenal pribadi kita masing-masing daripada mengajar.

Entah karena mudah lupa nama seseorang atau bagaimana, beliau tidak pernah memanggil kita dengan nama masing-masing, selalu menggunakan kata ‘kau’ atau ‘kamu’.

Sehabis olahraga, saat Istirahat pertama, aku, Gaby dan Ochi berhasil mendepak Cleo dari hadapan Frieska. Frieska bersyukur sekali karenanya, sebab Cleo sejak pagi memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kecelakaan yang dialaminya.

Gaby mengajak kami ke kantin. “Kau ingin paket makanan nomor berapa?” tanyanya padaku.

“Nomor empat, yang ada telur dadarnya itu,” tunjukku. Pertanyaan itu kuteruskan pada Frieska, “Kalau kamu Fries?”

Frieska menelusuri daftar menu di meja kasir. “Nomor tiga, tanpa mentimun,”  pilihnya. “Ochi milih yang mana?” lanjut Frieska.

“Tergantung,” jawab Ochi dengan pandangan kosong.

Frieska melongo.

Yah, aku tak menyalahkan Frieska sih kalau sampai kebingungan begitu. Siapapun yang mengajak Ochi bicara pasti akan stress gara-gara hanya dijawab dengan 5 jenis kata. Perlu trik khusus untuk bicara dengannya. Sampai saat ini, Gaby dan Frans saja yang memiliki kemampuan itu.

Gaby mengambil alih usaha Frieska, “Sarah, dari delapan pilihan menu, apa menu yang kau inginkan berada di nomor 5 sampai 8?”

“Ya.”

“Apa nomor ganjil?”

“Tidak.”

“Berarti genap. Apa nomor delapan?”

“Tidak.”

“Berarti nomor enam,” Gaby tersenyum.

Frieska menyatakan kekagumannya mengikuti percakapan tadi. “Kalau aku ya…” kata Frieska. “Paling bakal menanyakannya satu-satu seperti ‘Apa kau mau menu nomor 1?’, kalau jawaban Ochi ‘Tidak’ maka kulanjutkan ‘Apa kau mau menu nomor 2?’, kalau jawabannya masih ‘Tidak’ maka terus berlanjut ke nomor berikutnya sampai menemukan jawaban ‘Ya’.”

Berarti kalau Ochi pengen menu nomor 8, Frieska harus melontarkan pertanyaan minimal 7 kali ke dia. Capeeekkk…

Kami duduk di salah satu meja yang berada dekat jendela. Ochi membawakan nampan Frieska. Murid-murid kelas lain di sekitar meja kami serentak tergesa-gesa menghabiskan makanan mereka dan mulai menyingkir satu persatu sampai tak ada orang lain di sekitar kami.

“Sampai kapan pun aku tidak bisa membiasakan diri memperoleh perlakuan seperti ini,” komentar Gaby mengiringi kepergian mereka.

“Sama,” sahutku.

“Akur,” kata Frieska.

“Benarkah?” tutup Ochi.

Aku, Gaby dan Frieska saling melempar pandangan. Jawaban Ochi kadang tidak nyambung. Membuat kening orang yang mendengarnya jadi mengkerut.

“Cleo gigih sekali ya,” selorohku, berusaha mengganti topik pembicaraan.

Frieska berdecak marah, “Sepagian ini kepalaku pusing gara-gara dia. Dia terus menerus bertanya tentang pelaku kecelakaan itu.”

Pelaku?

“Loh bukannya dia sudah tahu siapa pelakunya?” tanyaku.

“Belum.” Frieska menggeleng. “Seandainya Cleo tahu pelakunya, dia pasti tak akan memaksaku mengingat semua hal yang terjadi di hari itu.”

Astaga, berarti selama ini Cleo berbohong dong!?

“Padahal dia dengan yakinnya menulis di diary kelas bahwa dia tahu siapa pelakunya,” cetus Gaby.

Aku mengiyakan. “Ditambah lagi dia menuduh lima orang sebagai tersangka.”

Frieska terlihat tertarik. “Masa?” ujarnya setengah tidak percaya.

“Hari ini giliranku untuk mengisinya,” kataku. Kukeluarkan buku diary ini. Membukanya pada halaman berisi tulisan Cleo. “Baca saja sendiri.”

Frieska menerimanya dan membaca perlahan. Sekitar lima menit kemudian dikembalikannya diary ini.

“Apa isinya benar?” tanya Gaby.

“Entahlah…” jawab Frieska tidak yakin. “Terus terang aku sama sekali tidak ingat kejadiannya. Lagipula ada banyak hal yang janggal dalam tulisan Cleo.”

Gaby tersenyum. “Kau juga menyadarinya?”

Janggal? Dimananya?

Gaby menangkap gelagatku. ”Coba hitung jumlah tersangka yang dirincinya di sana. Dia bilang seluruh kelompok kita punya alibi. Banyaknya orang dalam kelompok kita adalah 8 orang. Frieska adalah korban berarti ada 7 orang tersangka di kelompok kita. Dari 24 tersangka dikurangi 7 orang seharusnya tersisa 17 orang bukan 16 seperti yang ditulisnya.”

Secepat kilat kubuka lagi buku diary kita. Benar sekali. Cleo menulis ‘tersisa 16 tersangka’.

“Lalu… ada satu orang yang terlewatkan olehnya,” papar Gaby. “Orang yang berusaha kita anggap tidak ada.”

Siapa?

“Baca baik-baik, lihatlah nama siapa yang tidak ada di sana,” jelas Gaby lagi.

Kuikuti sarannya.

Ada.

Ada satu orang.

Si nomor 25! Sama sekali tidak disinggung di sana.

“Kalau begitu pelakunya si nomor 25!” simpulku antara terperangah dan takjub.

“Mungkin,” potong Ochi, mengejutkan kami bertiga sebab sejak awal diskusi dia diam saja.

Gaby berdeham. “Ada dua hal yang mungkin. Pelakunya si nomor 25 atau salah satu anggota kelompok kita. Karena tanpa kalian sadari, kitalah yang paling berpotensi melakukannya. Cleo membuat kita berasumsi kita punya alibi karena selalu bersama. Tapi itu pulalah yang mengakibatkan kita jadi dalam posisi yang perlu dipertanyakan, kalau memang kita selalu bersama lalu kenapa kita sampai tidak sadar Frieska menghilang?” Gaby bersandar lemah.

“Ya,” lirih Ochi.

Kami tidak tahu apa yang diiyakannya.

Sedikit demi sedikit kuharap misteri ini akan terbuka dengan sendirinya.

”Hei, ganti baju yuk. Sebentar lagi masuk.” Gaby mengajakku. Diantara kita berempat, memang hanya aku dan Gaby yang ikut pelajaran olah raga, sedangkan Ochi dan Frieska hanya menonton dari pinggir lapangan.

”Oke, ayo.” bergegas kami menuju menuju ke toilet di ujung lorong sekolah. Frieska, dengan dibantu oleh Ochi, kembali ke kelas.

”Sini, Ra. Jadi satu aja disini.” Gaby mengajakku masuk ke satu bilik. Dia sudah mulai membuka kaos olahraganya.

”Iya.” aku mengikutinya dan mulai berganti pakaian. Waktu sudah mepet.

”Duh, pakaian dalamku basah semua kena keringet.” Gaby melepas BH-nya.

”Sama nih, mana aku nggak bawa ganti lagi.” cemberutku.

”Kamu sih nggak pake BH nggak masalah, Ra, rambutmu kan panjang, bisa buat nutupin. Lha kalo aku, bisa menonjol nih puting.” kata Gaby sambil membusungkan dadanya yang bulat dan putih mulus.

”Makanya punya toket jangan gede-gede.” iseng, kucubit puting Gaby.

”Aow! Ih, Fahira! 
Apa-apaan sih, bikin horny aja.” kata Gaby kaget dan kegelian.

”Hihihi... toket gue nih, proporsional.” kubusungkan dadaku yang tidak begitu besar tapi cukup bulat dengan bangga.

”Yee... kan body aku bongsor makanya toketnya ikut bongsor, dodol!” Gaby mendekatkan tonjolan buah dadanya pada payudaraku.

”Tapi putingnya hampir sama ya, sama-sama mungil menggemaskan.” kutempelkan puting susuku pada puting Gaby.

”Iya, warnanya juga sama, pink. Hihihi.” iseng, Gaby menggesekkan putingnya pada putingku.

”Ihh, geli, hihihi, tapi enak.” aku mendesah.

Sambil tersenyum, Gaby makin menempelkan payudaranya ke payudaraku dan menggesek-gesekkan putingnya makin keras. 
Aku ikut membusungkan dada sambil tersenyum nakal dengan mulut sedikit terbuka. Gaby yang gemas melihat ekspresiku, segera memeluk tubuhku sehingga kedua pasang payudara kami menempel makin ketat. Kubalas pelukannya sambil menggerakkan dadaku ke kiri ke kanan. Begitu juga dengan Gaby sehingga payudara kami yang kenyal dan bulat saling bergesekan. Mata kami sama-sama terpejam menikmati sensasi nikmat dan geli pada puting masing-masing.

”Uhh, udah yuk, balik ke kelas.” bisikku parau.

”Kenapa buru-buru, kita masih punya waktu 5 menit. Sini, Fahira sayang, netek sama mama.” Gaby menekan kepalaku pelan ke arah payudaranya.

”Ah, Gabe, tapi... emm!” desahku tanpa bisa menolak sambil mengarahkan bibirku ke tonjolan putingnya.

“Ahh...” Gaby mendesah pelan ketika putingnya terasa geli oleh hisapan bibirku. Sambil mengulum, kumainkan lidahku menyusuri putingnya yang semakin mengeras, membuat Gaby secara reflek makin membusungkan dadanya, menyambut permainan mulut dan lidahku.

Tapi kenikmatan kami harus terputus karena tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, ternyata murid-murid yang lain juga beramai-ramai menuju toilet untuk ganti pakaian. Bahkan ada yang mencoba menarik handle pintu tempat dimana aku dan Gaby berada untuk memastikan ada apa tidak orang di dalam.

”Hmm... muach...!” kucium sekali lagi payudara Gaby sebelum kuangkat wajahku.

”Huh, mengganggu aja mereka.” sungut Gaby.

”Ayo buruan, kita kembali ke kelas.“ bisikku pelan. Kubenahi lagi pakaianku yang acak-acakan sambil berusaha mengatur nafas yang masih memburu.

”Tapi gimana nih, BH-ku basah?” 
Gaby memperlihatkan BH-nya.

”Iya yah. BH-ku kan juga basah, sekarang tambah celana dalemku juga ikut basah nih.” kataku bingung.

”Hihihi... apalagi celana dalamku, sampai lengket semua.” Gaby cekikikan.

”Ayo, berani terima tantangan gak? Kita nggak usah pake BH ama celana dalam, hihihi.” bisikku sambil tersenyum genit.

”Mmm, gimana ya…” Gaby melihat ke arah putingnya yang menonjol indah.

”Ayolah, nggak apa-apa, nanti kamu pegang tas ini buat nutupin.” kataku  sambil memasukkan BH dan CD-ku ke dalamnya.

”Tapi jangan bilang siapa-siapa yah.” Gaby melipat celana dalamnya lalu di masukkan ke tas juga. Beberapa saat kemudian, kami sudah rapi dengan seragam masing-masing. Aku nampak cantik dengan pita dan seragam panjang, sementara Gaby nampak sexy dengan seragam pendeknya.

”Ih, geli, Ra. Hihihi!” kata Gaby merinding karena putingnya bergesekan langsung dengan baju seragamnya.

”Hihihi... iya nih, tapi nikmat. Ayo buruan, tuh bel masuk sudah bunyi.” kugandeng tangannya keluar dari bilik WC. Murid-murid yang lain langsung menyingkir begitu kami lewat.

”Hei, darimana kalian berdua, kok lama?” sapa Frieska begitu kami masuk kelas.

”Mmm... anu... tadi toiletnya rame, harus gantian. Iya kan, Ra?” kata Gaby agak gugup dan segera duduk di bangkunya.

”Iya.” aku membenarkan sambil tersenyum genit.

”Kalian kenapa sih, kok aneh gini?” tanya Frieska agak curiga.

”Mm, nggak apa-apa kok.” Gaby mencoba tersenyum menutupi kegugupannya.

“Pasti ada yang disembunyikan nih, ayo ngaku.” paksa Frieska.

”Hihihi... mau tahu? Lihat tuh bokong si Gaby, ada cetakan celana dalemnya nggak?” bisikku.

”Maksudnya? 
Ups, Gaby nggak pake celana dalam gitu?!” bisik Frieska kaget.

”Yee... Fahira juga tuh. 
Ih, Fahira ingkar janji.” sungut Gaby.

”Hihihi... nggak apa-apa lah, kan temen satu genk.” aku membela diri.

”Hehehe... gila kalian, gimana rasanya?” bisik Frieska penasaran.

”Rasanya... hmm, geli-geli nikmat. Lihat nih, punyaku sampai basah.” sahut Gaby sambil duduk menyilangkan kedua kakinya sehingga vaginanya terhimpit di pangkal pahanya. Sementara tangannya memegang tas di depan dada untuk menutupi putingnya yang semakin menonjol.

”Hihi... jadi merinding.” aku menambahkan.

”Bener-bener gila kalian!” Frieska geleng-geleng kepala.

Tepat saat itulah, Pak Benny masuk ke dalam kelas. ”Selamat siang, anak-anak.” sapanya dengan kaca mata sedikit melorot. Sekarang waktunya pelajaran matematika. Dia memulai pelajaran dengan menyuruh salah satu anak mengerjakan soal di depan kelas.

”Eh, kita kerjain Pak Benny yuk!” Gaby mencolek bahuku.

”Gimana caranya?” aku bertanya.

”Begini...” dia membisikkan rencananya. Aku mendengarkan sambil tersenyum dan manggut-manggut.

Selanjutnya, sambil duduk bersandar di kursi, Gaby pura-pura mencocokkan rumusnya dengan jawaban yang tertulis di papan tulis. Perlahan dia mulai menyibakkan kerah bajunya sehingga belahan dadanya terbuka makin lebar.

”Ughh...“ Gaby pura-pura menggeliat sehingga payudaranya yang montok dan tonjolan puting di balik seragam panjangnya terekspose. Lalu dia duduk dengan agak membusungkan dadanya ke depan.

Ekspresi kaget nampak terlihat dari muka Pak Benny. Meski pura-pura melihat buku, tapi mata laki-laki itu lekat menatap payudara Gaby. ”Cleguks!” terlihat Pak Benny menelan ludah ketika tatapan matanya menuju ke arah bawah. Gaby sekarang duduk dengan posisi seronok. Pelan, dia membuka dan menutup kedua pahanya, membuat rok pendeknya tersingkap cukup tinggi. 
Pahanya yang putih mulus terlihat jelas oleh mata tua Pak Benny. Bahkan ketika pahanya membuat gerakan membuka, aku yakin Pak Benny bisa melihat sampai ke pangkal paha Gaby.

”Anak-anak, kalian kerjakan juga soal di halaman berikutnya.” kata Pak Benny.

”Itu cuma alasan Pak Benny agar dia bisa berlama-lama melihatku tanpa diketahui murid-murid lain karena mereka harus konsentrasi mengerjakan soal.” tulis Gaby pada selembar kertas yang dia berikan padaku.

”Kita kerjain abis!” tulisku sebagai balasan. Dan sekarang adalah giliranku.  
Pura-pura meminjam tip-ex pada Sonya, aku menoleh ke belakang. Posisiku  yang menoleh ke belakang sementara badanku tetap menghadap ke depan membuat payudara dan putingku tercetak ketat dari balik baju. Aku sengaja berlama-lama melakukannya, biar Pak Benny puas menikmati tubuhku.

Sementara itu, Gaby semakin berani. Kedua kakinya kini bertumpu pada pijakan meja dan pahanya terbuka lebih lebar sehingga vaginanya yang berwarna merah mengintip malu-malu diantara lipatan pahanya, bulu-bulu halus yang menghiasi bagian atasnya terlihat samar-samar.

Tak berkedip, Pak Benny menatap tajam ke arah selangkangan Gaby. Jakunnya terlihat naik turun, sementara rahangnya mengatup rapat. Muka laki-laki itu sudah memerah. Keringat dingin mulai menetes di dahinya yang sedikit botak.

Gaby terus pura-pura serius dengan bukunya, begitu juga aku. Namun sekilas aku bisa melihat ekspresi horny Pak Benny. Posisi duduk Gaby membuatnya tambah penasaran karena paha Gaby terbuka cukup lebar namun vaginanya tidak bisa terlihat seluruhnya karena terhimpit paha. 
Antara percaya atau tidak kalau muridnya benar-benar tidak memakai celana dalam. Untuk mengetesnya, Pak Benny pura-pura menjatuhkan pulpen lalu menunduk ke bawah untuk mengambilnya.

”Inilah saatnya!” bisik Gaby padaku dengan isyarat mata. Aku mengangguk mengiyakan.

Ketika Pak Benny menunuduk ke bawah meja, Gaby segera membuka pahanya lebar-lebar. Alamak! ”Jedug…!!! Gubrak...!!!” saking kagetnya melihat pemandangan yang ada di depannya, kepala Pak Benny sampai terbentur meja. Tubuh kurusnya terjengkang ke belakang menghantam kursi.

”Hahahaha…!!!” serentak seluruh kelas tertawa riuh, tak terkecuali Ochi yang pendiam.

”Diam!” bentak Pak Benny. Mukanya merah padam. ”Apa yang kalian tertawakan?! 
Cepat selesaikan soalnya, nanti saya periksa satu-satu!” bentakan Pak Benny membuat suasana kembali sunyi.

Aku dan Gaby saling melirik dan tersenyum penuh kemenangan…

(Fahira)

***

Diary Hari Keempatbelas

Haya tidak masuk. Sakit. (Itu katanya). Menurutku dia hanya melarikan diri dari tumpukan tugas yang harus dikerjakan hari ini.

Imban sama tidak becusnya. Sebagai wakil semestinya dia meng-handle semua kerjaan ketua kalau berhalangan. Tak bisa diharap. Dia gagap dadakan setiap di-confirm Pak Benny.

Shania juga tidak ada gunanya sebagai sekretaris. Selama ini kerjaannya tidak lebih dari mengekor Haya dan Imban.

Ujung-ujungnya aku yang ketiban sial sebagai bendahara malah merapikan segala ‘kekacauan’ yang mereka buat.

Haya belum membuat daftar petugas kebersihan kelas; mengambil buku paket pinjaman di perpustakaan; membagikan + mengumpulkan kembali formulir pilihan ekstrakurikuler; terakhir membahas darmawisata kelas yang semakin dekat. Apa saja yang dilakukannya selama ini sampai tugas-tugas menumpuk tak terkendali?

Sebagian tugas terpaksa kudelegasikan pada kalian.

Micah bersedia menyusun daftar petugas kebersihan. Bagus. Tak seorangpun yang bakal complain kalau Micah yang membuatnya. Sementara itu Giovani dan Radith kutugaskan mengambil buku paket. Artinya mulai hari ini kita tidak perlu melihat tulisan jelek Shania di papan tulis sebab sudah ada buku teks. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin!?

Yang membagikan formulir ekstrakurikuler adalah Mova dan Nabilah. Keduanya hapal semua ruang klub jadi akan mudah menyortir formulir-formulir itu pada klub masing-masing. Tentu saja sekaligus menyerahkannya ke sana. Untuk tugas terakhir, aku mengadakan meeting pengurus kelas setelah pulang sekolah.

Banyak sekali yang mengeluh hari ini. Sonya mengeluhkan tempat duduknya pada Melody dan minta tukar dengan Rica. Rica tidak mau.

Tempat duduk saja diributkan. Apa Sonya tidak sadar aku duduk di depan meja si nomor 25? Kalian tidak dapat membayangkan hawa dingin yang menyergapku setiap hari. Seandainya tak ada orang lain yang menyadari keberadaan dia, aku pasti sudah menganggapnya hantu.

Atau Baddy yang mengeluhkan kecuekan Imban yang belum mengganti biaya kerusakan laptopnya.

Pak Benny menghujani kita dengan tumpukan PR. Giliran Radith yang mencak-mencak di jam pelajaran terakhir.

Waktunya untuk meeting yang sudah ku-schedule mulai pagi tadi. Imban bersiap kabur, namun Melody yang duduk di belakangnya menarik kerah baju Imban untuk menahannya. Thanks, Melody. Otomatis Shania tidak berani bertindak macam-macam setelah melihat Imban gagal untuk kabur.

Satu persatu pulang, yang tertinggal adalah kami bertiga ditambah Baddy yang katanya ingin meng-install beberapa program baru ke laptopnya.

Masalah pertama yang kami bahas adalah tempat tujuan darmawisata. Imban bersikeras kita harus ke Bali, didukung mati-matian oleh Shania yang bahkan tidak punya alasan tepat kenapa dia mendukung Imban.

Aku memilih ke Bandung. Selain lebih dekat, biayanya juga bisa ditekan.

Imban tetap ngotot. Shania ikut-ikutan. Kali ini mengatasnamakan Haya. Mereka bilang Haya sudah memutuskan begitu. Jadi tidak boleh dirubah lagi.

Setengah putus asa, aku segera membuat rincian anggaran biaya darmawisata. Kubuat dua. Satu jika ke Bali. Satunya yang ke Bandung. Kuperlihatkan pada mereka agar bisa mereka bandingkan.

Shania tak bisa menutupi rasa keterkejutannya melihat total biaya yang mencolok di antara kedua anggaran tersebut. Secara tersirat dia memberi kode pada Imban jelas dia tidak punya uang sebanyak itu kalau memang putusannya harus berangkat ke Bali.

Imban mengurut dada. Pasrah. Dia dengan berat hati menerima usulku, kita memilih Bandung sebagai tempat darmawisata.

Well… semuanya berjalan mulus. Imban dan Shania berhenti membantah semua planning-ku mengenai darmawisata itu.

Selesai. Kami membereskan barang, bersiap pulang. At the same time, pintu kelas terbuka. Seorang anak cewek masuk dengan langkah gontai.

Si nomor 25.

Dia mendekati Baddy. Baddy yang kaget bangkit berdiri. Menjungkirkan kursinya tanpa sengaja. Si cewek hantu tersebut meletakkan sebuah amplop di meja Frans yang terletak di samping meja Baddy kemudian berbalik ke luar kelas tanpa memberi penjelasan apapun.

Perlu waktu lima menit mengembalikan kewarasan kami berempat.

Baddy menunjuk amplop yang ditinggalkan si nomor 25. Meminta izin kami untuk membukanya.

Aku mengangguk. Baddy mengambil amplop itu. Membukanya. Isinya sehelai
kartu dan sekeping cd. Kami bertiga mendekati Baddy. Penasaran dengan kedua benda tersebut.

Kartunya sederhana, kertasnya sudah lecek. Tertulis sesuatu di atasnya. Huruf-hurufnya di ketik memakai mesin tik manual. Tulisannya adalah : Ramalan kedua Jhan. Rahasia besar seseorang tersimpan dalam cd ini.

Keping cd yang dimaksud telah berada di tangan Imban. Dibolak-baliknya dengan gaya orang tolol. Baddy merebutnya dari tangan Imban. Memasukkan ke cd player laptopnya. Denging pelan terdengar lebih jelas dari laptop Imban dikarenakan kami tak mengeluarkan suara sedikitpun menunggu isi cd itu dibuka.

Act in a crazy manner!

Kalian tidak akan percaya atas apa yang baru saja kami lihat. Cd itu ternyata berisi sebuah rangkaian foto. Foto-foto seseorang tanpa mengenakan sehelai benang pun. Kalian ingin tahu siapa yang berani berpose seperti itu? Jangan sampai kena serangan jantung. Dia adalah Icha.

(Rudy Wisnubrata)

***

Diary Hari Kelimabelas

Staunenerregend. (= menakjubkan)

Foto-foto Icha beredar cepat di kelas. Tak ada yang ditutup-tutupi sepolos isi foto. Berbagai komentar bermunculan. Ada yang menganggap foto-foto itu rekaan belaka. Ada pula yang mencibir sinis pada Icha. Tapi tak sedikit pula yang terkagum-kagum dengan tubuh mulus Icha, terutama para cowok. Sementara itu tidak sedikit yang jadi bertanya-tanya pada kemampuan meramal Jhan yang sudah dua kali terbukti tepat.

Icha sendiri tiba-tiba menutup diri. Saat melihat foto itu, dia shock berat dan tak berkata apa-apa lagi. Ironis sekali bila dibandingkan sifat Icha sebelumnya yang tidak henti bicara. Tetap saja ada di antara kita yang tidak arif dalam menyikapi kasus ini. Sebut saja Nabilah yang cekikikan mendesiskan kata ‘cewek murahan’. Atau Cleopatra yang meskipun sudah kita wanti-wanti masih mengkonfrontir Icha dengan rentetan pertanyaan menusuk.

Selama empat pelajaran pertama, kasus ini terus hangat diperbincangkan. Jelas sekali walaupun tidak diperbolehkan berbicara di kelas kalian menemukan cara lain untuk menggosip. Melalui surat. Kalian saling tukar catatan-catatan kecil.

Dunia terbalik, Icha yang selalu menggosipkan kita sekarang malah jadi pusat gosip semua orang.

Yang menjadi tanda tanya besar bagi kita semua adalah darimana gadis nomor 25 memperoleh cd tersebut. Lalu kenapa gadis itu tidak menunjukkan ekspresi apapun? Bagaimana dengan kehebohan di kelas yang dibuatnya?

Einfach vermĂĽten (Einfach = mudah, vermĂĽten = menyangka)

Tak satu siswapun mendengarkan penjelasan Pak Benny. Tidak mengherankan.

Pak Benny…

Berbeda dengan Bu Donna, Pak Benny cenderung ‘lurus’. Memang dia juga tidak memanggil kita dengan nama asli kita melainkan memakai inisialisasi. Ambil contoh Haya yang dipanggil beliau ‘anak berdahi lebar’, dan Andy yang dipanggil ‘anak pengunyah pensil’.

Radith bahagia sekali jam pelajaran kelima adalah olahraga (Lagi? Sering sekali kita olahraga!). Jadwal hari ini adalah lari marathon. No.1 sampai 12  dapat giliran pertama. Yang lain menunggu melakukan pemanasan di pinggir lapangan.

Nabilah mengajakku ke toilet. Dia beralasan pada Bu Donna dia sakit perut. Bu Collins mengizinkan ditambah wanti-wanti kami harus segera kembali ke lapangan.

Geschehen (= terjadi)

Alasan sebenarnya Nabilah menarikku ke toilet bukanlah karena dia sakit perut, tapi disebabkan oleh sebuah benda sempit yang terletak di selangkangannya. Ya, benda itu bernama vagina. Begitu tahu aku pernah meraba-raba Gaby sampai orgasme, Nabilah jadi pengen juga. Jadilah di waktu yang sempit ini, dia meminta jatah.

”Badanmu segar sekali, Bil.” kutatap tubuh Nabilah yang putih dan montok.

”Ih, apaan sih, emang Nabilah minuman.” Nabilah tersipu malu sambil  bersandar manja di bahuku. Kusambut dia dengan pelukan mesra yang membangkitkan gairah.

”Sudah lama aku memimpikan ini, Bil.” bisikku sambil mengangkat dagunya.

”Iya, Nabilah juga.” jawab Nabilah lirih sambil memejamkan mata, sementara bibirnya yang tipis terbuka lebar, siap menerima lumatanku.

Tanpa menunggu lama, kami pun berciuman dengan sangat mesra dan romantis. Suasana menjadi hening, hanya deru nafas dan desahan kami yang terdengar. Saat ciuman itu terlepas, Nabilah memandangku mesra penuh arti. Tatapannya mengisyaratkan cinta, rindu dan nafsu yang sangat besar. Dengan pandangan sayu, Nabilah membimbing tanganku untuk mengelus pipi dan bibirnya. Dia lalu mengarahkan tanganku semakin turun untuk mengelus lehernya yang putih jenjang beberapa saat, dan terus turun hingga ke dadanya. Kini Nabilah menyuruhku untuk mengelus payudaranya dari luar kaos olahraganya. Tatapan matanya terlihat semakin sayu. Nabilah menikmati remasanku sambil menggigit bibirnya nakal.

Tanpa perlu disuruh dua kali, aku segera mengelus dan meremas-remas payudaranya dengan lembut. Nabilah menyambut remasanku dengan membusungkan dada agar seluruh bulatan payudaranya dapat kugenggam dan kutangkup dengan kedua tanganku. Kami menikmati adegan tersebut sambil tetap saling memandang dengan tatapan mata penuh nafsu, sesekali Nabilah menoleh ke arah pintu kamar mandi untuk melihat situasi.

Merasakan payudara Nabilah yang empuk dan kenyal membuatku semakin bernafsu. Kuremas-remas terus payudara Nabilah yang masih terbungkus kaos dan BH, sementara Nabilah menyambutnya dengan semakin membusungkan dadanya dan menggeliat-geliat keenakan. Apalagi sekarang tanganku bergerilya semakin liar. Kini sasaranku adalah paha mulus Nabilah yang saat itu mengenakan celana pendek ketat. Nabilah menyambutnya dengan melebarkan kedua pahanya. Dengan lembut dan mesra, aku mengelus-elus paha putih Nabilah yang ditumbuhi bulu-bulu halus jarang.


Nabilah semakin melebarkan pahanya ketika elusan tanganku sampai pada pangkal pahanya yang masih tertutup celana pendek. Telapak tanganku mengelus tepat di belahan vaginanya yang tercetak di celananya yang ketat.

”Ahh...” desah Nabilah sambil terus menatap mataku penuh nafsu, sambil sesekali melihat keadaan di luar kamar mandi. ”Bentar, sayang.” bisiknya sambil memegangi tanganku. Lalu Nabilah melepas kaos dan celananya, sedangkan aku, sambil menunggu, membetulkan letak penisku yang sudah menegang maksimal.

Beberapa saat kemudian, Nabilah berdiri di depanku hanya dengan memakai BH dan CD saja. Aku melongon tak percaya saat melihatnya. Nabilah terlihat begitu cantik dan seksi. Samar-samar bisa kulihat tonjolan putingnya yang tercetak jelas di balik BH-nya yang tipis, juga bulu-bulu halus di selangkangannya yang mencuat nakal dari sela-sela celdamnya. Ugh, sungguh menggairahkan!

”Hei, malah bengong.” Nabilah menjentikkan jarinya.

”Ckckck, kamu cantik sekali, sayang.” aku geleng-geleng kepala. Belum sempat hilang rasa kekagumanku, Nabilah meraih tanganku dan di letakkan di atas gundukan payudaranya. Telapak tanganku dapat meraba putingnya yang terasa semakin menonjol. Perlahan aku mengelus dan meremasnya, merasakan betapa kenyal dan lembutnya daging kembar itu karena kini hanya terhalang BH tipis yang mendekati taransparan. Apalagi Nabilah  membusungkan dadanya lebih tinggi lagi sekarang, membuat gundukannya jadi lebih terasa.

”Ahh... remas yang kuat, sayang.” Nabilah mendongakkan kepala sehingga dadanya semakin menjulang dalam genggamanku.

”Kamu nakal sekali, Bil.” bisikku sambil menciumi pipi dan telinganya sehingga membuat Nabilah merinding dan menggelinjang karena remasanku juga semakin kuat.

”Ahhh... tapi kamu suka kan?” desah Nabilah memejamkan mata sambil memeluk leherku.

”Iya, Bil, suka sekali.” bisikku mulai menjilati telinganya. Sedangkan tanganku meremas dan memutar mutar payudara kenyal Nabilah yang diiringi dengan geliatan mesra gadis cantik itu. Tanganku menyusup ke dalam cup branya dan meraih payudara Nabilah yang putih dan montok. Kemulusan dan kekenyalan payudara Nabilah dapat kurasakan dengan sempurna dalam genggamanku, tanpa penghalang apa-apa lagi.

Aku sedang asyik memijit dan memilin-milin puting mungil Nabilah sewaktu kudengar suara langkah seseorang mendekati toilet. Cepat-cepat kuhentikan aktivitasku dan kutarik tanganku. Nabilah juga segera memasukkan kembali bulatan payudaranya ke dalam bra, lalu dengan cepat meraih kaosnya yang nyantol di atas pintu untuk digunakan menutupi tubuh mulusnya.

Hening sejenak. Langkah itu berhenti. Aku jadi tidak sabar dan melongok ke luar pintu toilet. Lalu Menutupnya sambil nyengir. ”Bukan bu Donna, tapi si nomor 25 yang sepertinya tersesat.” aku memberitahu Nabilah yang wajahnya masih memerah dan nafasnya masih terengah-engah.

In wirklichkeit auf einen irrweg geraten (In wirklichkeit = sebenarnya, auf einen irrweg geraten = tersesat)

Nabilah menertawakan kekhawatiran kami, lalu menarik nafas panjang. Kami kembali berpandangan penuh arti. Meski tanpa berkata-kata, tapi mata kami sama-sama mengatakan : Lanjutkan! Dengan penuh nafsu, kami kembali mendekat dan saling memeluk erat. Kami langsung berciuman dengan ganasnya, saling melumat, menjilat dan saling menghisap. Tanganku tanpa menunggu waktu lama kembali menyusup ke cup BH Nabilah dan mengeluarkan bulatannya, dua-duanya, untuk kemudian disusul dengan terkaman mulutku ujung putingnya yang terbuka bebas tanpa penghalang. Benda itu terasa begitu keras dan kenyal. Aku segera mengeyotnya penuh nafsu. Bergantian kiri dan kanan.

”Ahh.. ” Nabilah mendesah sambil membusungkan dadanya lalu menggeliat menyongsong mulutku, tangannya menekan kepalaku ke arah buah dadanya, memintaku untuk menghisap semakin kuat. Lumatan dan sedotan mulutku membuat kepala Nabilah terdongak, mulutnya terbuka mendesah dan matanya terpejam merem melek keenakan.

Dengan tanganku yang nganggur, kuelus paha Nabilah yang putih mulus. Kuraba dengan leluasa sampai ke pangkal pahanya dan langsung menyentuh vaginanya karena ternyata Nabilah sudah memelorotkan celana dalamnya sampai ke lutut. Entah kapan dia melakukan itu. Terdengar suara clik, clik, clik, ketika telapak tanganku naik turun menggosok vaginanya yang sudah sangat basah.

Nabilah membuka pahanya lebar-lebar dan menopangkan satu kakinya ke pegangan kursi sehingga seluruh vaginanya bisa kugosok dan kuremas-remas dengan telapak tanganku, termasuk klitorisnya yang semakin lama terasa semakin menonjol.

Hisapan mulutku  di puting payudara Nabilah juga semakin kuat, dan gosokan serta remasan tanganku di vagina Nabilah pun semakin liar, membuat Nabilah menggeliat kian tak terkendali merasakan gelora birahi yang segera meledak.

”Ahh... ahhh..” kepala Nabilah semakin mendongak, matanya terpejam rapat, geliatnya makin liar, desahannya makin panjang mengiringi orgasme yang datang bertubi-tubi menggetarkan seluruh tubuh mulusnya. Cairan bening memancar deras dari lubang vaginanya, membasahi lantai dan tanganku.

Aku segera memeluk dan membelai rambutnya agar Nabilah lebih tenang menikmati sisa-sisa orgasmenya. Nafas kami berdua masih terengah-engah. Tubuh mulus Nabilah yang berada dalam dekapanku sesekali masih menggelinjang dan nafasnya tersengal-sengal menuntaskan orgasmenya.

Setelah kembali tenang, Nabilah mengela nafas lega sambil tersenyum, ”Ahh… fiuh!” dia mencium bibirku sebagai rasa terima kasih.

”Sekarang giliranku,” sambil menatap Nabilah penuh arti, kuelus-elus tonjolan penisku yang semakin menggembung dari luar celana.

Nabilah tersenyum dan mengangguk, tahu apa yang kumaksudkan. Dengan perlahan dia mengelus tonjolan penisku yang masih terbungkus celana panjang. Tidak sabar, aku segera membuka sendiri resleuting celanaku lalu dengan agak susah payah kukeluarkan penisku yang sudah ereksi maksimal melalui lubang resleuting tersebut.

Terkagum-kagum, Nabilah menatap penisku yang berdiri kokoh mengacung ke atas. ”Besar sekali...” gumamnya. Kubimbing tangan Nabilah untuk menggenggam dan mengelusnya. Nabilah sedikit terhenyak saat merasakan urat-urat penisku yang berdenyut kencang.

”Ahh...” aku mendesah merasakan kelembutan telapak tangan Nabilah melingkupi batang penisku. Gadis itu mulai mengelus dan mengocoknya ringan. Kubelai kepala Nabilah, lalu dengan perlahan mendorongnya agar menunduk ke arah penisku.

Nabilah yang mengerti maksudku, segera membuka bibirnya dan dengan susah payah memasukkan penisku ke dalam mulutnya, lalu menggerakkan lidahnya menyapu batang penisku.

”Ahh... sayang!” aku mendesah merasakan sensasi hangat dan nikmat hisapan Nabilah pada batang penisku. Gadis itu semakin cepat memainkan lidahnya, Nabilah menggelitik kepala penisku, membuatku merem melek keenakan hingga menggeram pelan tak tertahankan.

”Arghh…” kuremas rambut panjang Nabilah ketika kurasakan spermaku mulai mendesak keluar semakin kuat.

”Auw! Hmph!” jerit Nabilah kaget ketika dari dalam penisku menyemprot cairan putih kental yang tidak dapat dihindarkan masuk semua ke dalam mulutnya. Dengan reflek Nabilah segera menarik kepalanya sehingga penisku yang masih menembakkan sperma, lepas dari hisapannya. Tapi akibatnya, sperma ku justru berhamburan menyemprot ke mukanya.

”Uuhh...” hanya itu yang keluar dari mulut Nabilah sambil ia memejamkan mata agar spermaku tidak sampai masuk ke matanya.

”Ahh... ahh...” aku sendiri terengah-engah menikmati gelombang orgasme yang begitu dahsyat. Tubuhku gemetar, tulang-tulangku rasanya remuk redam.

Setelah beberapa saat, saat air maniku tidak lagi keluar, Nabilah membuka kedua matanya lalu menyeka sperma di wajahnya dengan menggunakan kaos. ”Ih, Micah, belepotan semua kan.” dia cemberut, membuatnya wajahnya jadi tambah manis.

”Hehehe... sorry, Bil. Habis sudah nggak tahan banget sih.” kuraih tubuh mungil Nabilah yang masih telanjang ke dalam pelukanku dan kucium bibirnya penuh kasih.

Kami berpelukan dan berciuman beberapa saat. Setelah nafas kami kembali tenang, aku mengajak Nabilah untuk kembali ke lapangan. Dia sebenarnya masih enggan, namun karena waktu sudah tidak memungkinkan, tidak ada lagi alasan untuk tetap berada di kamar mandi lebih lama lagi.

Setelah mengenakan kembali bajunya, Nabilah memutar kenop pintu toilet. Keras. Layaknya terganjal sesuatu. Aku mendorongnya ke samping. Mencoba memutarnya. Hasilnya sama saja. Pintu itu tetap tak bisa dibuka.

Kemudian dari bawah pintu toilet merembes air dengan pelan. Membentuk genangan. Hanya air biasa. Itu pikir kami.

Salah.

Nabilah berjongkok, menyentuh genangan air tersebut. Sedetik kemudian badannya kejang-kejang. Matanya melotot dan mulutnya menganga lebar. Aku yang berusaha menolongnya mengalami hal yang sama.

Elektrizität (= listrik)

Apa yang terjadi selanjutnya kalian sudah tahu semua. Teriakanku terdengar sampai lapangan. Kalian semua berlarian menuju toilet. Giovani mendobrak pintu toilet. Fahira menemukan sebuah kabel listrik yang terkoyak dicelupkan ke genangan air tersebut. Haya segera mematikan listriknya.

Apa ini hanya kecelakaan atau memang ada yang berusaha menyetrum kami
bertiga sampai tewas?

(Micah Lerrenkreuz)

***

Diary Hari Keenambelas

Alkisah pada jaman dahulu kala, ada sebuah kerajaan yang terisolir dari dunia luar. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang ratu cantik bernama Ratu Gabriela dan raja yang sakit-sakitan bernama Raja Haya.

Kondisi kerajaan sedang galau karena Putri Mahkota Nabilah dan Pemimpin Prajurit Micah ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Tersengat listrik belut raksasa. Keduanya saat itu sedang bercinta di taman kerajaan.

Beberapa hari terakhir dalam kerajaan memang terjadi kericuhan. Kericuhan yang sebenarnya sudah diramalkan oleh Ahli Nujum Jhan.

Korban pertama adalah Kepala Dayang Icha yang lukisan telanjangnya tersebar ke seluruh pelosok negeri.

Rapat besar pun diadakan,semua petinggi istana dikumpulkan di satu menara untuk menerima pengarahan dari Ibu Suri Donna. Ibu Suri menyatakan bahwa semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini tidak lebih dari sebuah kebetulan. Dan setiap jajaran petinggi istana lebih baik memfokuskan diri pada pelajaran sejarah perang, biologi naga-naga dan bahasa Inggris untuk mempererat hubungan multilateral dengan kerajaan-kerajaan lain.

Panggilan dari menara pemerintahan utama membuat Ibu Suri Donna harus menghentikan penjelasannya tentang sejarah perang. Sebagai gantinya, dia membagikan puluhan perkamen sebagai tugas setiap petinggi istana.

Hanya berselang beberapa menit setelah Ibu Suri menutup gerbang menara, tempat itu langsung ribut. Penjahit Istana Melody mendekati Penyanyi Istana Sonya, diikuti Ahli Perbintangan Frieska dan Ratu Gabriela beserta Dayang Utama Fahira. Kelimanya membahas jalinan fenomena yang belakangan terjadi.

Penyair Istana Ochi lebih memilih menyalin isi perkamen Penasehat Frans walau dia dicemooh Duta Sandi Baddy. Berkelompok, masing-masing berkumpul dengan petinggi lain yang bisa mereka percaya atau mereka sukai.

Waktu berlalu dengan cepat, Pelawak Istana Carada mengumpulkan seluruhperkamen. Putri Mahkota Nabilah dan Pemimpin Prajurit Micah sempat memprotes pengumpulan perkamen yang mereka rasa terlalu cepat. Mereka beralasan tubuh mereka masih lemah sehingga tidak bisa buru-buru mengisi perkamen tersebut. Pelawak Istana menolak. Dia cuma memberikan tambahan waktu sepuluh menit bagi keduanya.

Putri Mahkota menarik perkamen Koki Istana Giovani dan menyalinnya. Hal yang sama dilakukan Pemimpin Prajurit pada perkamen Penyihir Kerajaan Radith.

Lalu semua petinggi keluar dari menara menuju taman istana. Perjalanan ke sana dipimpin oleh Ahli Ekonomi Istana Rudy. Di taman istana sudah menunggu Tukang Kebun Istana Benny. Dia melaporkan perang sudah semakin dekat dan semua orang harus bersiap-siap. Sayangnya kerajaan harus berpuas diri dengan perlengkapan perang seadanya.

Ahli Pembangunan Istana Mova memberi mereka ember sebagai pengganti helm perang. Di sampingnya, Pandai Besi Istana Cleopatra menyerahkan sekop sebagai pengganti pedang. Kepala Pelayan Shania dan Penjaga Gerbang Andy mencampur dua jenis pupuk yang diyakini Tukang Kebun Istana Benny dapat mengusir naga-naga musuh. Penari Kerajaan Ken langsung menjauh saat ramuan ajaib itu mulai dibuat.

Setelah semua tersedia, Perdana Menteri Imban memasukkan pupuk pengusir naga ke ember setiap petinggi. Dengan sekop di tangan kanan dan ember di tangan kiri, semuanya siap bertarung di medan perang.

Pasukan dibagi dalam beberapa batalyon. Raja Haya membawahi langsung Penasehat Frans, Penjahit Istana Melody dan Prajurit Abadi Rica. Formasi yang tepat sebagai pelindung raja yang sedang sakit-sakitan itu. Penasehat Frans memiliki Tongkat Angin Penyembuh. Kemudian serigala-serigala air Penjahit Istana Melody dapat menghalau semua jenis naga agar tidak mendekat. Kartu as mereka adalah Prajurit Abadi Rica yang mempunyai sihir unik mengendalikan darah yang keluar dari tubuhnya sendiri.

Batalyon utama ini mendapat tugas menangani gerombolan naga yang dikenal dengan nama Naga Lidah Buaya. Naga-naga itu terkenal sangat buas. Tubuh mereka yang berwarna hijau dipenuhi duri-duri mematikan. Apabila para anggota batalyon berhasil melukai naga ini maka tubuh naga tersebut akan mengeluarkan lendir. Lendir ini dikumpulkan oleh Penasehat Frans sebab konon berkhasiat untuk menyembuhkan luka.

Perang berlangsung sengit. Dimana-mana terdengar denting sekop. Serbuk Pupuk Sihir disebarkan penuh konsentrasi oleh para penyihir kerajaan. Mereka terlalu sibuk berperang sampai tak ada yang menyadari seekor nagaraksasa melayang di atas grup batalyon utama. Naga itu memekik dan mengeluarkan pecahan-pecahan kaca sihir dari kakinya. Pecahan-pecahan kaca tersebut melesat menuju bumi. Melukai keempat anggota batalyon utama. Darah segar mengalir dari tubuh mereka.

Memang keempatnya hanya menderita luka gores. Tapi itu membuka kesempatan Prajurit Abadi Rica menggunakan darah mereka dan mengeluarkan jurus pamungkasnya, Badai Darah. Sang pemimpin naga dikalahkan. Seluruh rakyat bersorak. Mereka pun hidup bahagia selamanya.

(Prajurit Abadi, Rica Leyona)

***

Diary Hari Ketujuhbelas

Wah, hebat sekali Rica-chan. Coba ya andai kita semua sungguh terlempar ke kerajaan impian. Pasti kita akan menemui berbagai kejadian penuh keajaiban dan pertarungan dalam membela kebenaran. Apa Rica-chan menjalani hari-hari dengan imajinasi seperti itu? Hidup penuh petualangan di dunia mimpi? Ikutkan Gio dong…

Gio takut sekali. Beberapa hari ini setiap hari selalu terjadi kecelakaan-kecelakaan aneh. Yang paling Gio takutkan sepertinya kita tak pernah terkejut lagi saat muncul kejutan-kejutan luar biasa. Rasa itu menghilang seiring saking seringnya hal ini terjadi.

Kemarin, sewaktu kaca di atas kelompok Haya-kun pecah terus pecahanannya menerjang mereka, Gio sempat pingsan. Ma’af. Habis Gio kaget banget melihat darah yang mengalir dari sekujur tubuh mereka.

Selalu begitu. Seperti yang baru kami alami. Gio tidak ingin menulisnya karena tidak terjadi pada jam sekolah, tapi Mova-chan bilang, Gio harus.

Baiklah. Selain itu Gio juga ingin membagikan resep terbaru Gio ‘Sup Udang ala Gio’. Cuman Gio agak-agak lupa resepnya. Gak apa-apa kan kalau Gio nulisnya nyicil. Di selang-seling sama laporan kelasnya.

Pelajaran sih berjalan datar. Benny-sensei dan Donna-sensei masuk kelas layaknya tak ada peristiwa penting apapun di hari-hari sebelumnya. Gio penasaran, Richard-sensei menghilang kemana ya?

/Resep Sup Udang ala Gio. Bahan kuah : 150 gram udang, ½ siung bawang putih, 100 mililiter air, 5 gram wortel, 5 gram tomat, 10 gram kentang, 1 gram seledri, jus jeruk botolan, gula dan garam sesuai selera, mentega secukupnya/.

Seharian Gio tegang. Panik ketika ada yang memanggil. Atau hampir terkena serangan jantung sewaktu mendengar suara dadakan. Makanya Gio senang sekali tak terjadi apa-apa di kelas hari ini. Sesenang pas Nabilah-chan meminta Gio menemaninya ke toko roti yang baru buka di pusat kota. Mova-chan ikut serta karena Nabilah-chan memelas-melas minta dia ikut. Carada-kun juga bergabung sebagai penunjuk jalan.

Kita belum pernah jalan bareng kan? Gio sedih, kenapa kita tidak pernah jalan bareng ke mall atau tempat asyik lainnya seperti yang dilakukan anak-anak SMA pada umumnya? Paling Gaby-chan yang sering bermalam di rumah Frieska-chan.

(Gio makin nggak sabar menunggu darmawisata kelas. Paling tidak dalam acara itu kita kan jalan rame-rame.)

Gio sudah meminta yang lain ikut ke toko roti. Hasilnya… ditolak. Kalian semua sibuk atau ’punya alasan tepat untuk dianggap sibuk’. Apa yang kalian kerjakan di rumah sampai sesibuk itu?

/Bahan sup : 25 mililiter krim, 25 mililiter susu. /

Nabilah-chan pengennya kami naik bus ke sana. Akan tetapi Carada-kun bilang akan lebih cepat kalau jalan kaki sebab jalur bus memutar. Mova-chan berkomentar ide Carada-kun bagus sekalian olahraga. Nabilah-chan semula kurang setuju. Setelah dibujuk Mova-chan, akhirnya Nabilah-chan mau juga.

Dalam perjalanan, Nabilah-chan tak henti-hentinya mengeluh. Dia menyalahkan Carada-kun yang memaksanya berjalan di tengah terik matahari. Panas sih. Seragam Gio sampai basah oleh keringat. Gio tidak protes soalnya Carada-kun melontarkan banyak lelucon lucu. Mova-chan tidak banyak bicara. Sembari berjalan dia mencoret-coret sesuatu di kertas. Kelihatannya seperti rute. Ya kata Mova-chan dia suka menggambar susunan tata kota. Mova-chan keren. Carada-kun lucu. Lalu Nabilah-chan baik sama Gio.

Bukannya Gio nggak suka sama yang lain. Gio senang bisa sekelas sama kalian kok.

/Cara membuat kuah : Rendam udang dalam larutan gula dan garam selama 10 menit. Tiriskan. Cincang-cincang udang sampai menjadi lembut. Iris bawang putih kemudian tumis menggunakan mentega. Potong melintang semua wortel, tomat dan kentang.Seledri diiris kecil-kecil. /

Mungkin Ken-kun benci Gio. Bicaranya ke Gio selalu keras. Radith-kun sering ikut menjahili Gio. Paling Micah-kun saja yang ramah. Walau dia kadang bicara sendiri dalam bahasa Jerman.

Kembali ke perjalanan Gio menuju toko roti. Gio makin banjir keringat. Mova-chan berhenti menggambar, kecapekan. Carada-kun tetap melucu sambil matanya lekat menatap bokong bulat Nabilah-chan yang bergoyang-goyang indah di depannya. Dari belakang, Nabilah-chan nampak sexy sekali karena celananya yang pendek sangat ketat sehingga bokongnya yang mengkal tampak semakin montok. Ditambah lagi pahanya yang putih mulus terpampang dengan jelas.

”Hayo, lihat apa?!” Mova-chan menepuk pundak Carada-kun.

”Eh, anu... cuma lihat bunga!” Carada-kun tampak kaget setengah mati karena aksinya dipergoki.

”Bunga apaan, tuh mata kamu jelalatan lihat bokong si Nabilah.” tuduh Mova-chan.

”Ah, nggak kok!” Carada-kun masih gugup dan cepat memalingkan mukanya.

”Kalo lihat bunga, ngapain tuh tangan?” Mova-chan menunjuk tangan Carada-kun yang menggosok-gosok celana depannya.

”Eh... a-anu... ini...” Carada-kun semakin gugup. Dia segera menarik tangannya.

”Sudahlah, nggak usah menghindar. Nabilah juga nggak keberatan, iya kan, Bil?” tanya Mova-chan yang dijawab senyum dan anggukan ringan dari Nabilah-chan.

”Ah, benarkah?” Carada-kun kaget. Begitu juga dengan Gio.

”Aku tahu kok, kamu suka ama Nabilah kan?” kata Mova-chan pelan.

”Ah, itu... tidak...” Carada-kun kembali gugup.

”Hehehe… tapi ngomong-ngomong, kamu tuh suka atau nafsu sih ama Nabilah?“ tanya Mova-chan genit.

”Mmm... dua-duanya, abis Nabilah sexy banget sih, hahaha.” Carada-kun mulai santai.

”Huh dasar. Tapi bener kan, kamu dari tadi liatin pantat Nabilah yah?” kata Mova-chan.

”Mmm... nggak, eh, iya. Siapa suruh punya bokong montok banget gitu.” kata Carada-kun masih agak malu. Nabilah-chan yang mendengarnya cuma cengar-cengir tak keberatan jadi bahan omongan.

”Itu masih pakai celana, coba kalo liatnya gak terhalang celana, kamu bisa onani di tempat. Hihihi...” goda Mova-chan.

”Duh, nggak kebayang deh. 
Lihat gini aja aku sudah deg-degan, apalagi…” Carada-kun tidak melanjutkan kata-katanya.

”Kamu pengen lihat? Bilang kek dari tadi!” kata Mova-chan sambil berjalan mendekati Nabilah yang masih asyik melihat pemandangan di kanan-kiri.

“Eh, mau ngapain Mova-chan?” 
Gio bertanya pada Carada-kun.

”Hihihi, lihat saja.” Carada-kun cengengesan. Di depan, Mova-chan sudah berhasil menjajari langkah Nabilah-chan.

”Hei, tunggu dong.” Mova-chan mencubit pelan pantat bulat Nabilah-chan.

”Auw, sakit tahu.” Nabilah-chan menjerit tapi tidak marah. Dia menoleh pada Mova-chan yang kini berjalan di sampingnya.

”Eh, Carada pengen lihat pantat kamu tuh.” 
Mova-chan meremas lembut pantat Nabilah-chan. Yang diremas tidak protes karena itu sudah tindakan biasa diantara mereka berdua.

“Berani bayar berapa?” tanya Nabilah-chan sambil merangkul Mova-chan dari samping.

”Nggak tahu, tanya saja sendiri.” Mova-chan makin nakal, dia menyusupkan tangannya ke dalam celana ketat Nabilah-chan dari atas. Kini tangannya bersentuhan langsung dengan kulit mulus bokong Nabilah-chan.

”Mova, tangannya jangan nakal yah, geli tahu!” protes Nabilah-chan sambil mencubit pipi Mova-chan, tapi tidak berusaha menarik tangan Mova-chan dari bokongnya.

”Abis bokong kamu ngegemesin sih. Carada aja suka, apalagi aku.” Mova-chan meremas bokong Nabilah-chan makin keras.

”Eh, nanti dilihat orang.” Nabilah-chan merapatkan tubuhnya ke tubuh Mova-chan.

”Nggak, cuma ada Carada sama Gio di belakang kita. Mereka sudah menunggu momen ini dari tadi.” Mova-chan terus mengelusi bokong montok Nabilah-chan.

”Jangan, ntar celana olah raga Nabilah jadi melar.” lenguh Nabilah-chan.

”Kalo gitu diturunkan aja yah?” Mova-chan langsung menarik turun celana pendek sekaligus celana dalam Nabilah-chan. Karena celana tersebut elastis, seketika itu juga celana pendek dan celana dalam Nabilah-chan melorot sampai ke lutut, menampakkan bokong Nabilah-chan yang mulus, putih dan montok.

“Aow! Mova!” teriak Nabilah-chan yang secara reflek langsung menarik celananya lagi ke atas.

”Hihihi… sorry, sayang!” Mova-chan memeluk kepala Nabilah-chan agar tidak menoleh ke belakang.

Sementara itu, Carada-kun melongo tak percaya menyaksikan semua keisengan Mova-chan dari awal. Sedangkan Gio hanya menggelengkan kepala sambil tertawa, dan segera berhenti begitu mata Gio memandang lurus ke sebuah gang.

”Lihat…!” seru Gio.

Mereka mengikuti arah pandangan Gio. Seorang anak baru saja memasuki gang itu. Si nomor 25.

/Masukkan udang dan tumisan bawang ke dalam panci. Tutup panci dan kukus selama 15 menit. Keluarkan udang. Celupkan ke jus jeruk. Tiriskan. /

Si nomor 25 menyeret dua bungkusan hitam besar. Terlihat berat.

“Apa yang dibawanya?” celetuk Nabilah-chan.

“Aku tidak tertarik. Tak ada gunanya juga kita tahu. Ayo lanjutkan perjalanan,” jawab Mova-chan.

Carada-kun meletakkan telunjuknya di bibir. “Ssst… ayo kita ikuti dia.”

“Untuk apa!?” Mova-chan kebingungan. “Jangan ah, untuk apa?” ulangnya.

“Aku mau,” potong Nabilah-chan bersemangat.

Mova-chan menatap Gio, meminta dukungan. Gio belum menjawab, keburu Nabilah-chan menarik Gio. Mova-chan menyerah.

“Nabilah merasa jadi detektif,” kata Nabilah-chan.

/Cara membuat sup : Masukkan udang ke dalam panci. Tambahkan air, wortel, tomat, kentang dan seledri. Masak selama 20 menit. /

“Seperti Cleopatra dong…” sindir Mova-chan.

“Jangan disamakan dong! Cleo sih detektif kesiangan,” celetuk Carada-kun.

Kami semua tertawa. Mengikuti si nomor 25 menimbulkan sensasi tersendiri. Mengendap-endap agar anak itu tidak sadar kami mengikutinya. Seru sekali. Berempat menguntitnya bagaikan mata-mata. Dari satu blok ke blok lainnya. Untung tidak begitu banyak orang yang lalu lalang di wilayah itu, sebab setiap orang yang melihat kami pasti bingung melihat polah kami yang mengendap-endap dengan gaya aneh. Gadis itu jalannya lambat, menunduk seakan-akan bakal menemukan uang jatuh di jalan. Bungkusan yang dibawanya meninggalkan jejak di tanah yang dilaluinya. Kami tinggal mengikuti jejak itu kalau dia menghilang.

/Masukkan krim dan susu. Aduk perlahan. Masak sampai mendidih. Tuang ke dalam mangkuk cantik. Siap disajikan. /

Lalu daerahnya berubah. Mulai banyak terlihat gedung-gedung tinggi dan toko-toko ramai oleh pengunjung. Jalan-jalan yang dilaluinya beraspal. Jejak yang kami andalkan itu pun turut menghilang.

“Mana dia?” Nabilah-chan mempercepat langkahnya di sebuah belokan.

Si nomor 25 sedang menyeberang jalan. Kami bersembunyi di balik tumpukan peti buah.

“Dia sudah menyeberang,” kata Nabilah-chan. Segera berlari menyeberang.

“Tunggu Nabilah!!!” teriak Mova-chan.

Si nomor 25 rupanya turut mendengar teriakan Mova-chan. Membalikkan badannya. Bertemu pandang langsung dengan Nabilah-chan. Nabilah-chan terpaku, menghentikan langkahnya tepat di tengah jalan raya.

Tiba-tiba sebuah truk datang tanpa diundang. Meluncur ke arah Nabilah-chan dengan kecepatan tinggi. Nabilah-chan berteriak.

Semuanya berlangsung bagai kilasan. Suara klakson. Decit rem yang diinjak paksa. Tangisan Mova-chan. Puncaknya suara tubrukan keras yang memekakkan telinga.

Tabrakan. Darah. Kematian.

Tidak sepenuhnya benar. Memang ada tabrakan akan tetapi bukan Nabilah-chan yang ditabrak. Carada-kun berhasil menerjang Nabilah-chan keluar dari jalan tepat pada waktunya. Truk tersebut banting setir ke kiri dan menabrak pagar pembatas jalan.

Darah yang keluar tak lebih dari lecet-lecet di lutut dan siku Carada-kun juga Nabilah-chan. Dipastikan tak ada kematian.

Kecelakaan itu menimbulkan kehebohan besar. Polisi sampai dipanggil. Kami ditanyai macam-macam. Sedangkan si nomor 25 telah menghilang di tengah kerumunan orang-orang yang tertarik pada kejadian itu. Menjadi hari tak terlupakan bagi kami.

Teman-teman. Ramalan pertama Jhan-kun terwujud.

(Giovani Nova)

***

Diary Hari Kedelapanbelas + Komentar Minggu Ketiga

*Babak I *

Ruang kelas yang baru berisi lima orang anak

Omega meletakkan tas : “Aku kaget sekali, Frieska menelponku di tengah malam. Menyampaikan Nabilah kecelakaan. Bagaimana kejadiannya sih?”

Gio : “Gio sendiri masih shock sampai saat ini…”

Imban mendekat : “Katanya kalian membuntuti si nomor 25 ya?”

Cleopatra kaget : “Apa? Membuntuti gadis itu!?”

Gio takut-takut : “Iya…”

Cleopatra : “Nah, kalian menemukan fakta mengerikan darinya kan?” dengan nada menuntut.

Radith mengunyah roti pemberian Gio : “Buoduoh! Satu-satunya hal mengerikan yang terjadi ya kecelakaan itu!”

Cleopatra mendengus : “Siapa yang tanya pendapatmu!?”

Gio mundur perlahan. Menghindar terlibat dalam pertengkaran. Menabrak Ochi : “Ma’af, Ochi-chan…”

Ochi : “Ya.”

Imban : “Gio, rotimu masih ada?”

Gio : “Ada. Imban-kun mau?”

Imban mengangguk.

Cleopatra : “Aku juga mau, Gio!”

Radith : “Dasar tukang minta.”

Cleopatra : “Tutup mulutmu!”

Keduanya bertengkar hebat.

Gio menyerahkan kotak bekal rotinya ke Imban. Lalu menawarkan satu ke Ochi : “Ochi-chan mau?”

Ochi : “Tidak.”

***

*Babak II *

Pelajaran keempat, bahasa Jepang, sedang berlangsung. Diajar oleh Pak Benny yang tidak pernah memalingkan wajah dari papan tulis.

Sonya menatap Nabilah : “Kamu baik-baik saja kan?”

Nabilah : “Heh? Nabilah? Gak pa-pa kok. Masih shock sih…”

Jhan menyorongkan kepalanya. Mengagetkan Mova dan Nabilah : “Kau pasti berubah pikiran kan, Mov? Sebagai salah satu anggota penentang ramalanku, kau harusnya bisa meyakinkan yang lain bahwa ramalanku bukan omong kosong belaka.”

Mova : “Sebaliknya, aku malah bingung.”

Sonya : “Bingung kenapa?”

Mova : “Homogenitas. Kenapa ramalan Jhan selalu berhubungan dengan musibah? Apa dia tidak punya stock ramalan indah barang satupun!”

Carada tersenyum nakal : “Walah, bener juga tuh…”

Jhan : “Meramal hal yang ‘baik’ itu tidak menarik. Buang-buang tenaga dan waktu. Tanya saja Ochi. Ya kan, Chi?”

Ochi memutar kepalanya. Yang lain terdiam menunggu jawaban : “Tergantung.”

***

*Babak III *

Jam istirahat. Ada tugas akuntansi. Beberapa anak yang lupa mengerjakannya mencegat Rudy untuk mencontek tugasnya.

Rudy mengamuk : “Apa-apaan kalian ini?! Aku mau ke kantin!”

Andy : “Ma-ma’af, kami mau pi-pinjam buku PR akuntansimu.”

Rudy : “Kerjakan sendiri!”

Ken : “Mana sempat! Pelit amat sih.”

Rudy : “Kamu kan biasanya nyontek punya Micah.”

Ken : “Kalau akuntansi kan mahiran kamu. Udah! Biar kami ambil sendiri. Rica, bongkar tasnya!”

Rica membuka tas Rudy. Menghamburkan semua isinya ke atas meja.

Rudy mengamuk : “Hei! Ini tindakan kriminalitas namanya. Masukkan lagi barang-barangku!”

Ken : “Tunggu dulu.” mendorong Rudy supaya menjauh. ”Bukunya yang mana, Andy?”

Andy : “Ya-yang sam-sampulnya kotak-ko-kotak.”

Ken mengambil satu buku, melambaikannya : “Yang ini?”

Andy : “I-iya yang i-itu.”

Ken menyerahkan buku Rudy dan bukunya sendiri ke Ochi : “Chi, istirahat sisa 10 menit, aku sudah ditunggu di kantin. Apa kau bisa menyalinnya ke bukuku juga dalam waktu segitu?”

Ochi : “Mungkin.”

***

*Babak IV *

Ruang audio. Subjek listening bahasa Inggris.

Fahira melepas headphone : “Gabe, kita perlu bawa perlengkapan mandi nggak sih saat darmawisata nanti?”

Gaby melepas headphone juga : “Aku belum tahu. Mungkin perlu kita tanya ke Rudy lagi barang-barang apa saja yang harus dibawa.”

Haya : “Kalian berdua! Dilarang ngobrol sewaktu pelajaran masih berlangsung.”

Fahira : “Hayyah… Cuekin aja dia, Gabe.”

Gaby tersenyum pada Haya lalu melanjutkan obrolan : “Terus jangan sampai lupa kita tanya juga barang-barang apa saja yang boleh dibawa dan yang tidak boleh dibawa.”

Frans : “Oh, kalau daftar barang yang boleh dibawa dan tidak boleh dibawa itu sudah ada kok. Baddy sedang mengerjakannya, diminta oleh Rudy.”

Fahira : “Loh, kok baru bilang. Boleh kami lihat?”

Baddy : “Belum selesai, nanti kutempel di papan pengumuman kalau sudah rampung.”

Frans : “Nah kalau barang yang harus dibawa kayaknya nggak ada. Perlengkapan mandi pun sudah disiapkan tersendiri.”

Haya melotot pada Frans dan Baddy : “Kalian jangan ikut-ikutan ngobrol di tengah jam pelajaran!”

Fahira : “Aduh, Haya, kamu marah karena obrolan kami atau sewot gara-gara gagal pergi ke Bali sih!?”

Gaby menulis sesuatu di buku catatannya. Memberikannya ke Fahira : “Baca, kalau sudah selesai estafet-kan ke Sonya.”

Fahira membacanya. Geleng-geleng sebentar. Menyodorkan buku itu ke Ochi : “Chi, tolong kasihkan ke Sonya ya.”

Ochi : “Ya.”

***

*Babak V *

Gerbang sekolah. Dalam gelombang siswa yang berlomba pulang secepatnya. Melody dan Micah mengejar Icha yang pulang bersama Shania.

Melody terengah-engah : “Hosh… Shania, aku mau menanyakan sesuatu.”

Shania memasang wajah masam : “Apa!?”

Melody : “Ukh… Shania kok jadi sinis sekarang.”

Shania : “Makanya cepetan!”

Icha memanas-manasi Shania : “Shan, kita pulang aja yuk, nggak penting kayaknya.”

Melody mendelik ke arah Icha : “Itu loh… Gelang manik-manik yang dipakai Ochi, kata Micah itu buatanmu ya?”

Micah tersenyum. Shania ingin balas tersenyum tapi ditahannya : “Kalau iya kenapa!?” menantang Melody.

Micah : “Shania… Melody kan bertanyanya baik-baik.”

Shania menghela nafas : “Gelang yang mana?”

Melody : “Gelang yang...“ Matanya menangkap sosok Ochi yang bersembunyi di belakang pohon. ”Chi, kesini sebentar.” dia memanggil.

Ochi mendekat lambat.

Icha : “Kamu menguping pembicaraan kami ya?”

Ochi : “Mungkin.”

Melody mengangkat tangan kiri Ochi : “Gelang yang ini. Cantik sekali. Apa Shania yang membuatnya?”

Shania tersenyum sombong : “Ya, aku yang membuatnya.”

Ochi memiringkan kepala : “Benarkah?”

(Neneng ‘Ochi’ Rosediana)

***

Komentar minggu ketiga

Sonya : Kepalaku berputar-putar membaca catatan minggu ini, terutama gaya menulis Rica yang menurutku ‘ajaib’

Ochi : -

Fahira : Bisa juga ya ternyata Ochi menulis (meski tulisannya berupa percakapan yang tidak jelas sekaligus tidak penting; untuk apa menulis hal-hal yang cenderung basa basi seperti itu? membosankan banget, dan dia menjadikan dirinya sendiri sebagai si tokoh utama), padahal kukira perbendaharaan katanya cuma ‘ya’, ‘tidak’, ‘mungkin’, ‘benarkah’, dan ‘tergantung’ hihihi…

Gaby : Darmawisata! horeeee… Fahira dan aku bisa makin gila nih.

Haya : Jangan sampai terlambat datang pagi senin nanti. Catat, Gaby, JANGAN TELAT!

Imban : Kuulangi… Jangan Telat Semuanya (sesuai kata-kata Haya)

Mova : Semoga darmawisata itu dapat menghapus kenangan minggu-minggu buruk yang kita alami

Nabilah : Wah, minggu ini Nabilah ya yang paling ’nakal’? gak nyangka!

Frans : Perhatian semuanya… jangan lupa bawa jaket atau payung, sekarang kan musim hujan

Baddy : -

Rica : D-A-R-A-H

Melody : Rica!

Carada : Ochi… Ochi… Ochi… hebat sekali gaya tulisan lue berbentuk drama gitu, keren loh, meski gue bingung apa maksud dan tujuan dari tulisan lue.

Jhan : Masih ada satu ramalan lagi

Frieska : Jangan ngehancurin semangat kami dong, Jhan!

Cleopatra : Oooo… aku mendapat firasat hebat, wooo…

Ken : Firasat? wah rupanya kau ganti profesi dari detektif berubah jadi dukun ya, Cleo? hahaha…

Giovani : Sudah ada yang nyoba resep Gio?

Rudy : so far so good

Andy : -

Gina : kapan giliranku mengisi diary ini?

Ajeng : -

Micah : aku belum pernah ke Bandung

Radith : siiip… gue bawa semua perlengkapan olahraga nih

BERSAMBUNG

2 komentar: