Cari di sini, Bos

Sabtu, 08 Juni 2013

JKT48 : The Dark Diary 4

Diary Hari Kesembilanbelas

Kalian berusaha membuat kepalaku pecah ya!?Semuanya tidak ada yang beres. Bayangkan saja, Nabilah membawa empat buah koper untuk darmawisata yang hanya selama tiga hari dua malam! Memangnya mau pindah rumah! Sebaliknya Andy si serba lelet lupa membawa kopernya sendiri! Kita terpaksa menunggu dia mengambil koper bodoh itu terlebih dahulu di rumahnya.

Gaby lagi-lagi terlambat! Sangat terlambat! Jadwal keberangkatan jadi semakin mundur. Menyusahkan semua orang saja!

Akhirnya aku bisa mengabsen kalian. Lengkap. Si nomor 25 juga hadir membawa sebuah tas tenteng ungu dekil. Sedikit sekali bawaannya.

Rupanya kalian memang susah diatur ya! Capek-capek aku mengatur tempat duduk tiap anak di bus biar tertib, eh kalian malah duduk di sembarang tempat seenak perut kalian.Aku menyerahkan absensi kelas pada Bu Donna, tapi beliau menolak.

“Pegang saja dulu. Setiap keluar dan masuk bus harus terus diabsen. Keadaan setiap siswa juga wajib di cek satu jam sekali. Itu tugasmu sebagai ketua kelas.” begitu katanya.

Rica menarik bajuku. “Aku ingin duduk di belakang,” rengeknya.

Kulihat kursi paling belakang. Ada lima kursi. Tiga kursi sudah ditempati Carada, Gio dan Cleopatra. Satu kursi dekat pintu milikku. Kursi yang kosong rencananya kupakai sebagai tempat buku-buku.

“Sudah penuh! Cari kursi yang lain,” putusku.

“Aku ingin di situ.” Rica merengek.

Dasar keras kepala. “Sudah kubilang cari yang lain!”

“Hei, Rica,” panggil Micah. “Di sebelahku masih kosong.”

Rica menggaruk kepalanya. “Bukannya Radith tadi duduk di sebelahmu?”

Radith melongok. “Oh, gue duduk di sini kok. Di sebelah Nabilah.”

Nabilah yang duduk di samping Radith nyengir. Matanya menghindari mataku. Berani taruhan, Radith pasti menyimpan supply rokoknya di koper Nabilah.

“Oke.” Rica pergi dari hadapanku.

“Apa ada lagi yang belum dapat kursi?” tanyaku.

Shania menunjuk ke depan. Cih! si nomor 25 masih berdiri di belakang supir.

“Kenapa kau belum duduk juga?” kataku ketus.

Dia membuka mulut, suara kering keluar dari sana, “Aku duduk di mana?”

Ada banyak kursi kosong. Dia kan bisa duduk dimanapun yang dia inginkan.
“Terserah kamu, cepatlah duduk.” Aku jadi kesal sekali.

Gadis itu memilih tempat duduk di sebelah kiri dekat jendela.

“Jangan di situ!” bentak Baddy. “Jangan duduk di kursi yang sejalur dengan kursiku. Merusak pemandangan.”

Si nomor 25 berdiri. Berpindah ke kursi disebelahnya.

“Ho-ho, tidak boleh…” Cleo berteriak dari belakang. “Aku juga tidak mau sejalur denganmu. Bisa sial nanti!”

Mova dan Melody yang duduk di depan Cleo langsung menegurnya. “Kau keterlaluan, Cleo,” kata Mova.

Cleo mencibir.

Si nomor 25 berpindah lagi. Kali ini ke kursi sebelah kanan.

Giliran Nabilah yang merepet, “Aaa... Nabilah nggak suka dia duduk di situ. Sejalur dengannya membuat asma Nabilah kambuh. Mana lupa bawa obatnya lagi.”

“Ah… Na-nabilah punya pe-penyakit asma ya? A-aku juga. A-aku bawa obatnya,” celetuk Andy menawarkan.

“Sejak kapan lue punya penyakit asma?” bisik Radita pada Nabilah.

Nabilah menohok rusuk Radith, menyuruhnya diam.

Harapan terakhir. Kusuruh si nomor 25 pindah ke dekat jendela. Kupandangi satu persatu anak yang sejalur dengannya. Menunggu kalau ada yang protes.  Icha, tampak tidak peduli. Frans, asyik membaca majalah. Radith menguap. Andy sedang mencari sesuatu dalam tasnya. Sementara Carada sibuk ngobrol sama Gio.

Ok, urusan beres. Aku menghela nafas. Melangkah menuju kursiku.

Tiba-tiba, “Haya…” suara Radith berkesan mengejek. Mau apa anak ini? “Lue pikir gue setuju apa dia duduk di situ. Pindah!” Radith berdiri.

Semuanya terdiam. Aku jadi ingin menghadiahkan satu bogem mentah ke muka Radith. Siapa sih yang suka pada gadis itu? Aku juga tidak. Tapi kalau terus begini, kita bakalan nggak berangkat-berangkat juga. Aku melirik Bu Donna dan Pak Benny yang sepertinya sama sekali tidak sadar atas ketegangan yang terjadi di dalam bus.

Frans melipat majalahnya. “Begini saja, kita ambil suara. Di jalur ini, siapa yang tidak setuju gadis itu duduk di kursinya sekarang tolong angkat tangan.”

Radith mengangkat tangan tinggi-tinggi. Tapi cuma Radith. Yang lain tidak. Dia kalah suara.

Bus berangkat. Kendaraan kita melaju meninggalkan gedung sekolah.

“Haya,” Mova menjentik jemariku yang menjuntai lemas. “Seharusnya tadi kau minta bantuan Bu Donna atau Pak Benny.”

“Untuk apa? Buktinya aku bisa menanganinya kan.”

Mova tertawa pelan. “Kamu? Yang berhasil membungkam Radith kan Frans, bukannya kamu!”

Huh! Tahu apa sih Mova ini? Aku menarik nafas panjang. Dan hidungku menangkap sesuatu. Harum. Bau apa ini? Bersumber dari kotak yang ditaruh dekat kaki Gio. “Kamu bawa apa, Gio? Harum banget.” aku bertanya.

Gio menepuk kepalanya. “Hampir aja Gio lupa. Gio kan bawa kue.”

“Kue?” Carada menegakkan badan. Hidungnya mengendus-endus lapar.

Gio membuka kotak tupperware besar. Aromanya menyebar cepat. Kepala-kepala kalian yang kelaparan bermunculan dari balik kursi. Mirip pose anak-anak burung yang kesenangan dibawakan induk mereka cacing. Gio berdiri menyodorkan kotak kuenya ke semua orang.

“Iiih… kuenya lucu banget, Gio. Ini bakpau kan? Kok bisa berbentuk kura-kura begini?” cericit Fahira.

Gio melewati kursi si nomor 25 tanpa menawarinya kue. Berhenti di sebelah Bu Donna dan Pak Benny. Menawari mereka. “Ma’af, saya sedang diet,” tolak Bu Donna halus. Pak Benny mengambil satu. Tapi tidak dimakannya.

Masih tiga jam lebih baru kita sampai di tempat tujuan pertama. Kalian berceloteh sepanjang jalan. Sibuk dengan dunia masing-masing.

Radith melempar sebuah bola bekel ke arah si nomor 25. Luput. Bola itu menghantam kepala Icha. Icha mengamuk dan secara serampangan melempar balik. Melesat jauh menabrak kepala Rudy yang memekik kesakitan. Bola memantul di lantai. Ditangkap Sonya, menyerahkannya ke Frans. Frans membuang bola tersebut melalui jendela geser bus.

Radith mengerang. Gaby memukul kepalanya memakai bantal kecil. “Jaga kelakuanmu,” peringat Gaby keras.

“Yah habisnya, gue gak kebagian tempat duduk. Bokong luh gede banget sih.” cemberut Radith.

Gaby tampak berpikir sejenak, ”Gini deh, aku kamu pangku.” katanya kemudian.

“Asyiiikk.” Radith kegirangan. Dia segera merapatkan kedua pahanya untuk memangku Gaby. Cepat Gaby duduk di pangkuan pemuda itu. Sambil ngobrol dan menyaksikan pemandangan di luar, Gaby sengaja menggerak-gerakkan pantatnya pelan sehingga bokongnya yang montok dan bulat bergesekan dengan penis Radith yang pelan-pelan mulai mengeras. Karena yang lain pada sibuk sendiri-sendiri maka tidak ada yang melihat ulah mereka.
Semakin lama, penis Radith menjadi semakin keras di balik celananya dan Gaby tahu itu. Dengan gerakan yang tetap pelan namun makin bervariasi, dia sengaja menggoda penis Radith dengan kepadatan bokongnya.

Radith merespon gerakan pantat Gaby dengan menarik bokong gadis itu lebih ke belakang dan dia memajukan sedikit pinggulnya sehingga kini penisnya menempel ketat pada bokong bulat Gaby.

Gaby tetap pada gerakan pelannya karena dia juga merasa geli dan nikmat ketika bongkahan pantatnya yang montok terganjal penis Radith yang sudah mengeras maksimal. Meski nafsu mereka semakin meninggi, namun ekspresi mereka tetap dibuat sewajar mungkin seperti tidak terjadi apa-apa agar teman-teman yang lain tidak ada yang curiga.

Kini posisi duduk Gaby semakin condong ke depan, tangannya bertopang pada paha agar pantatnya bisa menempel maksimal pada penis Radith, sedangkan Radith semakin memajukan duduknya untuk menyongsong gerakan bokong Gaby yang montok. Mereka berdua merasakan sensasi yang luar biasa karena dilakukan di tengah keramaian teman-temannya. Gaby dapat merasakan vaginanya sudah basah kuyup oleh lendir kewanitaannya, sedangkan penis Radith berdenyut-denyut merasakan nikmat yang luar biasa. Tapi sayang, mereka tidak bisa melakukan lebih dari itu.

Mendadak Carada bertepuk tangan berusaha menarik perhatian di tengah keramaian tersebut, “Woi! Gue punya cerita asyik nih.” Dia memulainya tanpa diminta.

Cerita Carada cukup ampuh meredam huru-hara di bus. Gaby dan Radith terpaksa harus menunda nafsunya kalau tidak ingin ketahuan. Mereka ikut tertawa mendengar cerita tentang tiga orang tolol yang berpetualang ke negeri China. Cerita yang tidak lucu. Apalagi Carada mengibaratkan tiga orang itu sebagai aku, Imban dan Shania.

Cleopatra tidak mau kalah, melanjutkan dengan bercerita mengenai kasus pembunuhan berantai. Gayanya menceritakan penuh desisan aneh. Berusaha semenegangkan mungkin, namun dia tidak sadar bahwa sebenarnya kita cekikikan melihat tingkahnya yang mirip dukun sedang beraksi.

Aku tidak terlalu tertarik mendengarkan cerita murahan mereka dan memilih memandang keluar bus. Kondisi tersebut berlangsung berjam-jam. Akhirnya sebuah baliho menarik perhatianku. Tulisan besar ‘Milkubaya’ berwarna putih dengan latar belakang gerombolan sapi gemuk tercantum di sana. Tempat pemberhentian pertama.

Pintu bus bagian belakang membuka. Aku melompat duluan. “Keluar satu-satu. Jangan berebut,” kataku. Sia-sia, kalian tak mendengarkanku. Anak TK saja pasti bingung melihat kalian yang saling dorong menuju pintu.

“Tempat apa ini?” tanya Melody.

“Milkubaya.” Apa dia tidak melihat aku sedang sibuk mengabsen!?

“Aku juga tahu ini Milkubaya,” cetus Melody. “Kan ada tulisannya. Yang aku tanyakan, Milkubaya itu apa?”

Kututup buku absenku. “Lihat saja nanti! Kerjaanku sudah banyak, jangan tanya macam-macam kalau tidak mendesak!”

Rudy mendorongku. “Jangan membentak pacarku! Apa tidak bisa ngomongnya dengan baik-baik.”

Pacar? Jadi keduanya sudah jadian. “Bagus kan! Urusi sana cewekmu!”

Frans menangkap tangan Rudy yang hampir menonjokku. Kelakuan manusia barbar! Rupanya tidak ada jaminan anak seorang milyuner memiliki tata krama yang cukup. Aku meninggalkan mereka.

Micah tiba-tiba menjerit. “Hyaa, ada sapi!!”

Carada tertawa. “Micah belum pernah melihat sapi ya?”

“Pernah, tapi tidak sebanyak ini.” jawab Micah.

Ini kan peternakan sapi. Jelas banyak sapinya lah!

Bu Donna mengumpulkan kami. “Oke. Kita sudah sampai di Milkubaya. Tugas kalian adalah melakukan observasi bagaimana proses pengolahan susu segar di sini. Semakin detil hasilnya semakin tinggi pula nilai yang kalian dapat. Tugasnya dikumpulkan malam ini juga. Selain itu harus saya beritahukan tugas ini mempengaruhi tiga mata pelajaran sekaligus : Biologi, Bahasa Indonesia dan Kimia. Bila kalian memasukkan beberapa informasi tentang sistem pemasarannya maka kalian akan mendapat poin lebih di mata pelajaran Ekonomi. Pintar-pintar kalian saja untuk memasukkan semua aspek yang kalian anggap penting atau menarik. Saya tidak suka hasil observasi yang dicontek dari anak lainnya, jika kalian nekat melakukannya, maka tanggung sendiri akibat terburuknya—tidak naik kelas.”

Radith mengerang tertahan, diambilnya buku tugasnya dari tangan Micah.

Shania mengangkat tangan. “Apa kami boleh mencicipi susu segarnya, Bu?”

“Tentu saja,” Bu Donna mengerling pada pak Benny. “Namun kalian harus bersabar sebentar. Susunya belum disiapkan. Kalian lihat pondok di sana?”

Ya. Pondok kayu dengan atap seng.

“Kita akan berkumpul lagi di sana dalam waktu setengah jam dari sekarang. Jadi lakukan tugas kalian sementara susunya disiapkan.” Bu Donna melambaikan tangannya menyuruh kita bergegas.

”Hati-hati ya, sayang. Sampai ketemu setengah jam lagi. Mmmuaach...” Melody mencium pipi Rudy.

”Kok cuman pipi, bibir dong, sayang.” Rudy memajukan bibirnya.

”Eemm... mmm... mmmuuaacchh!” Melody mencium bibir Rudy dengan lembut. Untuk beberapa saat mereka berciuman mesra sebelum akhirnya Melody menarik tubuhnya dan Rudy berjalan pergi mengikuti Gio.

”Ihh... kalian apa-apaan sih?” Sonya salah tingkah melihat kemesraan mereka.

”Ternyata Thomas yang kelihatannya malu-malu itu bisa liar juga loh, hihihi...” kata Melody sambil terkikik. Berdua mereka berjalan menuju ke bagian belakang peternakan.

”Maksud kamu?” tanya Sonya bingung.

”Mmm… ya gitu deh.” kata Melody genit.

”Gitu deh gimana? Tambah bingung.” Sonya penasaran.

”Gini lho, nona…” Melody merapatkan tubuhnya ke tubuh mungil Sonya. Lalu dia menceritakan percintaannya beberapa waktu yang lalu dengan Rudy di gedung perpustakaan. Semua detail diceritakan, bagaimana mereka berciuman, lalu betapa merindingnya ketika tangan Rudy meremas bokongnya langsung di dalam celana dalamnya. Termasuk juga ketika tangan Rudy mengelusi vaginanya.

”Rasanya uhhh... nikmat banget!!” kata Melody sambil memeluk Sonya erat-erat membayangkan orgasmenya saat itu.

”Ihh... jadi merinding deh.” kata Sonya. Bulu-bulu di tangannya ikut berdiri membayangkan cerita Melody yang begitu merangsang jiwa ABG-nya.

”Pelukan kami eraat banget, sampai payudaraku seperti diremas gitu.” Melody bercerita dengan begitu menghayati sambil tangannya meremas payudara Sonya dari luar seragamnya.

”Emm...” Sonya cuma bisa mendesah manja.

”Bayangin aja, vaginaku nempel langsung sama penis Rudy! Meski masih terhalang celana, tapi denyutannya terasa banget, uhhh...” Melody mendesah sambil bercerita, sementara tangannya masih meremasi payudara Sonya yang bulat menantang.

”Emm... jadi pengen,” rengek Sonya sambil memeluk tubuh montok Melody. Gairah ABG-nya naik terbawa cerita erotis Melody.

Sambil membayangkan Rudy, Melody mencium bibir Sonya sambil tangannya meremasi payudara gadis itu sehingga seragam Sonya jadi kusut. “Eeeehh...” desah Sonya sambil bersandar di pohon dan tangannya mengelus punggung Melody.

”Sonya, kamu pengen merasakan orgasme?” bisik Melody sambil menciumi daun telinga Sonya.

”Pengen banget...” desah Sonya tanpa malu lagi.

Tangan Melody mulai membuka beberapa kancing baju seragam Sonya, lalu meremas payudara Sonya dari balik BH-nya. ”Aahhhh...” desah Sonya membusungkan dada ketika tangan Melody mengangkat cup BH-nya dan mengelusi payudaranya secara langsung. Telapak tangan Melody mengelusi seluruh permukaan payudaranya sehingga puting Sonya mengeras dengan cepat.

”Ahh... enak nggak?” tanya Melody sambil terus meremas-remas payudara Sonya, sementara bibirnya menciumi rakus telinga gadis itu.

”Aaakkhh... aaakkhh…” Sonya tidak sanggup menjawab. Kenikmatan ciuman Melody di telinganya dan kenikmatan remasan gadis itu di payudara dan putingnya membuat tubuh mulus Sonya mengejang. Dadanya semakin membusung sampai bokongnya terangkat ke atas, kenikmatan tersebut menggetarkan seluruh tubuhnya... dan beberapa saat kemudian seluruh tubuh Sonya menggelinjang hebat menyongsong orgasme pertamanya…

Tidak jauh dari situ, aku duduk. Sapi! Dimana-mana terlihat sapi. Aku benci sapi. Bau. Bersuara ‘mooo—‘ jelek dan memiliki tampang dungu. Makanya aku memilih duduk di bawah pohon dekat pondok. Mengamati Sonya dan Melody yang masih terus berpelukan dan berciuman.

Dua orang pemuda datang mengangkat tong kecil berisi susu segar. Menaruhnya di tengah meja panjang di pondok. Seorang ibu paruh baya menyusul membawa puluhan gelas plastik. Diaturnya gelas-gelas tadi di sekitar tong. Ketiganya lalu meninggalkan pondok itu.

Aku mengambil buku absen. Iseng-iseng menghitung kalian. Loh, kok kurang satu orang. Dimana si nomor 25?

“Kau mencariku?” Si nomor 25 sekonyong-konyong muncul dari belakangku.

“Apa maksudmu ‘aku mencarimu’?”

“Kau sedang mengabsen kan?” Suaranya itu. Tambah mengerikan.

“Apa yang kau lakukan dibelakangku?” Aku mengkonfrontirnya.

“Bukan apa-apa,” dalihnya.

“Kau harusnya sedang mengobservasi!”

“Sudah selesai, kalau kamu?” Dia menatapku. Sial, matanya menusukku.

“Kalau begitu tunggu di pondok!” perintahku.

Si nomor 25 mengikuti perintahku, masuk ke dalam pondok. Dia duduk dekat tong susu. Aku baru ingin berdiri, ketika Mova dan Fahira yang gantian muncul mengagetkanku.

”Eh, Haya, bisa bantuin kita nggak?” kata Mova manja.

”Bantuin apa?” aku mendekat.

”Bantuin ambil foto kita berdua dong, buat kenang-kenangan.” 
Fahira menyerahkan HP-nya padaku. Mova tertawa cekikikan. Aku curiga dengan sikap mereka. Sepertinya mereka sedang merencanakan sesuatu.

”Pose gini bagus gak?” kata Mova sambil memeluk Fahira dari belakang.

”Oke... 1 2 3, smile!” aku mulai mengambil foto.

”Pose berikutnya,” Mova merangkul dan mencium pipi Fahira.

“Senyum...” aku mengambil angel yang bagus.

Pose berikutnya, Fahira duduk di bebatuan dengan dipeluk Mova dari belakang. Fahira seperti sengaja melebarkan pahanya agar pahanya yang putih mulus kelihatan. Apa dia ingin menggodaku?!

“Cleguks...” aku hanya bisa menelan ludah sambil melanjutkan tugasku.

Tingkah mereka berikutnya lebih membuatku blingsatan. Fahira menopangkan salah satu kaki jenjangnya ke bebatuan sehingga pangkal pahanya kelihatan, namun tidak dengan celana dalamnya karena lipatan paha Fahira bagian atas masih rapat, Mova mencium pipi gadis itu.

”Oke... s-satu, d-duaa, t-tiga!!” tepat pada saat aku menjepretkan kamera, Mova menarik rok Fahira ke atas sampai celana dalamnya kelihatan.

”Aowww... Mova, iihh...” Fahira berteriak kaget, tapi terlihat sekali kalau itu cuma pura-pura. Dia segera membetulkan roknya kembali.

”Hihihi…” Mova tertawa cekikikan.

Meskipun cuma sekilas, namun adegan tersebut mampu membuat jantungku berdegup kencang. Penisku berdenyut seirama dengan detak jantungku yang semakin menggebu.

”Mana hasilnya, Haya?” 
Mova melihat hasil jepretan tersebut. ”Wow! Fahira sexy abis, hahaha...” teriaknya kegirangan.

”Ihh, Mova jahat! Celana dalemku keliatan tuh,” sungut Fahira berpura-pura marah. Dia melirik Mova sambil tersenyum, Mova juga tersenyum sambil mengedipkan sebelah mata. Sedangkan aku hanya bisa bengong sambil menelan ludah melihat ulah mereka berdua.

”Sekali lagi, Haya.” pinta Fahira.

“O-oke,” aku mencoba menguasai diri.

”Sini, Mova cantik.” Fahira dengan genit merangkul Mova.

”Oke... s-siap, 1.. 2.. 3..” saat aku menjepretkan kamera, dengan cepat Fahira meremas payudara Mova yang bulat membusung.

”Aooouuww…!!!” teriak Mova sambil menggeliat namun tidak menolak.

”Hihihi...” mereka berdua lalu tertawa secara bersamaan.

”Cle-gukss...” aku makin susah menelan ludah. Nafasku semakin berat, sementara penisku makin berdenyut-denyut kencang. 
Tak tahan, akupun berlari ke pondok untuk mencari toilet dan onani disana.

Mova dan Fahira tertawa ngakak melihat kelakuanku.

***

Setengah jam pun berlalu. Kita satu persatu berkumpul di pondok. Bu Donna dan Pak Benny tidak kelihatan batang hidungnya.

“Mau apa kau di sini!?” Nabilah mengusir si nomor 25.

“Betul!” kata Cleo. “Dari tadi aku melihat dia santai-santai saja di pondok!”

Si nomor 25 keluar pondok sambil menggumamkan sesuatu. Tidak jelas apa
yang digumamkannya.

“Ayo kita pesta susu segar!” sorak Radith sepeninggal anak mengerikan tadi.

Semuanya balas bersorak, mengambil gelas. Radith menuangkan susu bagai seorang bartender. “Jangan diminum dulu ya,” katanya. “Kita bersulang rame-rame.”

Kita mengangkat gelas. Berseru ‘Cheers’. Lalu meminum susu itu.

Di ruangan sebelah yang terkunci dari dalam, Pak Benny ikut mengangkat gelasnya dan menuangkan isinya ke tubuh bugil Bu Donna yang tergolek pasrah di lantai. Ibu guru cantik itu terlihat malu dan risih, ia berusaha menutupi buah dadanya yang membusung indah, serta kelaminnya yang ditumbuhi bulu agak lebat dengan tangan. Namun Pak Benny selalu mencegah usahanya itu, sehingga tetap saja sudut relung tubuh Bu Donna yang indah tak sejengkal pun dapat lepas dari pandangan si laki-laki tua.

Bu Donna yang lebih banyak memejamkan matanya menjadi kian gelisah. Apalagi ketika tangan Pak Benny mulai meratakan susu ke seluruh permukaan tubuhnya. Dengan gemetar dan nafas memburu, pria tua yang hanya mengenakan celana pendek ini mulai mencium, menghisap, dan menjilati sekujur lekuk tubuh mulus Bu Donna. Kedua tangan Bu Donna direntangkannya ke atas kepala. Ketiak perempuan cantik yang berbulu halus itu diciumi dan dijilatinya tanpa sisa, meluncur turun-naik ke sana kemari. Dan sesekali diselingi dengan hisapan di puncak payudara Bu Donna yang membulat padat. Membuat wanita berkaca mata ini menjadi tersentak-sentak, gelisah, dan terengah-engah menahan sejuta perasaan dan emosinya yang perlahan namun pasti mulai menggelora.

Makin lama, ciuman, jilatan dan hisapan Pak Benny menjadi semakin ganas. 
Kedua puting buah dada Bu Donna bergantian disedot dan digigit-gigitnya. Bahkan wajahnya dengan kuat digosokan disana, membuat benda padat yang tegak menantang itu menjadi penyok dan terdorong kesana-kemari. Sementara jemari tangan Pak Benny terus mengusap, menggosok dan meremas bagian bibir bibir vagina Bu Donna. Memutar dan menyelusup, menusuk-nusuk belahannya yang basah memerah.

Akhirnya Bu Donna tak tahan lagi untuk mengeluarkan suara-suara liarnya, ”Oohhh... shhh... hhh...” meski masih terdengar perlahan. Namun pada saat kedua paha jenjangnya dikangkangkan, kemudian Pak Benny menciumi, menghisap serta memainkan lidahnya di vagina dan bibir kelamin yang basah oleh lendir bercampur madu itu, rintihan Bu Donna akhirnya tergantikan oleh erangan yang nyaring dan panjang, dengan diikuti gerak tubuhnya yang  indah; berkedut kencang, berkelojotan kesana-kemari, dan mengejang-ngejang keras.

”Aughhh... hhhh... ohhh...” ia berpegangan erat di kepala Pak Benny yang sedikit botak. Wajah pria itu masih terbenam diantara pangkal selangkangannya, tepatnya di vagina Bu Donna yang semakin licin dan basah.

”Pak, saya... AARRGGHHHHH...!!!” jerit Bu Donna disaat sesuatu yang luar biasa melambungkan tubuh indahnya ke dalam kenikmatan yang tiada tara. Ia orgasme. Cairannya menyembur deras dari liang senggamanya.

"Gimana, Bu. Enak kan?” bisik Pak Benny, nampak terengah-engah saat menyaksikan Bu Donna terkejang-kejang dan untuk kemudian lemas. Partner mengajarnya itu memandangnya dengan mata sayu, terhanyut jauh oleh nafsu dan kenikmatan orgasmenya.

Pak Benny kemudian menjatuhkan tubuhnya ke sisi Bu Donna, tergolek tak bersemangat di sana. Lama. Bu Donna yang sudah mulai pulih tenaganya, berusaha untuk bangun. Diam-diam dia merasa heran, mengapa celana pendek Pak Benny tak menunjukan sesuatu yang sedang berdiri keras di baliknya. Apakah ada sesuatu yang salah? Padahal dia sudah telanjang seperti ini... Apa yang sebenarnya terjadi?

Dengan agak ragu, Bu Donna pelan-pelan menyentuh celana itu. Pak Benny cuma diam membisu. Malah dia kemudian menurunkan celananya dengan serta merta, menunjukkan kelaminnya yang... astaga! ternyata sangat kecil, lembek dan mirip punya anak SD.

Apakah dia impoten? tanya Bu Donna dalam hati. Atau karena usia Pak Benny yang sudah mulai uzur? Hmm, harus dibuktikan lebih lanjut. Pikiran ini membuat Bu Donna pelan-pelan meremas penis yang lunglai itu dengan tangan gemetar. Lalu akhirnya menunduk dan mulai menjilatinya. Pak Benny cepat membuka kakinya lebih lebar. Dia nikmati jilatan Bu Donna sambil meremas-remas payudara perempuan cantik itu. Pak Benny memilin dan memijit-mijit putingnya sementara Bu Donna terus menghisap penisnya. Wanita itu mengecup, kemudian mulai mengulumnya begitu rupa, mirip seperti bayi yang sedang menghisap ibu jarinya.

Tubuh Pak Benny kelihatan menggeliat-geliat menahan nikmat. 
Tapi berlalu tiga, lima, bahkan sepuluh menit, penis itu tak juga mau tegang. Ada memang perubahan, karena tak lagi selembek tadi, tapi tetap saja lemah. Malah yang ada, Pak Benny menggeram dan menumpahkan spermanya di mulut manis Bu Donna.

Bu Donna terpana, tak menyangka kalau akhirnya akan seperti ini. Tapi belum sempat ia memperotes, terdengar jeritan di luar.

***

Reaksinya sungguh luar biasa. Kita sedang asyik bersenda gurau saat rasa mual mulai menjalar di perutku tanpa terkendali. Frieska yang pertama muntah. Disusul yang lain. Kepalaku berputar hebat. Nabilah dan Carada ambruk ke tanah. Pingsan.

Pasti ada yang mencampur sesuatu ke susu itu.

Pak Benny yang keluar dari ruangan sebelah, gelagapan melihat apa yang terjadi. Dia memanggil ambulance. Kita semua segera diangkut ke rumah sakit terdekat. Kulihat pakaian Bu Donna agak lusuh dan acak-acakan saat mengikuti kita ke rumah sakit.

Dokter bilang kita keracunan makanan.

Keracunan atau diracuni?

Rasa mual itu baru reda sore harinya. Selang infus masih bertengger di tanganku selama aku menulis diary ini. Bencana di hari pertama darmawisata. Karena itulah aku makin menyesal tidak pergi ke Bali!

(Haya Saptayudha)

***

Diary Hari Keduapuluh

Pasti, pasti dan pasti. Pelakunya pasti si nomor 25!

Pukul sembilan pagi kita baru diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Pak Benny memberikan dua opsi. Darmawisata dihentikan atau tetap dilanjutkan walau kondisi badan kita masih lemah.

Kita sepakat pulang. Itu sebelum si nomor 25 yang malam tadi tidur di bus mendekati Pak Benny memberitahukan keempat ban bus kita semuanya pecah. Pecah 1 ban itu wajar. Pecah 2 ban, kebetulan. Pecah 3 ban, musibah. Pecah 4 ban, pasti sabotase!

Pak Benny memberikan lagi penawaran awalnya. Kita dengan berat hati menerima kenyataan darmawisata mau tidak mau harus dilanjutkan karena busnya wajib masuk bengkel dulu. Sepertinya masalah yang dialami mobil bukan hanya pecah ban. Membuat kita bertanya-tanya bagaimana bisa si nomor 25 tak menyadari kerusakan ‘dadakan’ tersebut.

“Sesuai jadwal, kita akan berkunjung ke galeri seni,” kata Bu Donna mengumumkan.

“Naik apa kesana, Bu?” tanya Sonya.

“Jalan kaki,” jawab Bu Donna ringan.

“Nggak mau!” protes Nabilah dan Ken bersamaan.

Bu Donna menepuk bahu Ken. “Ibu paham kalian belum kuat berjalan jauh. Tenang saja. Galeri itu jaraknya hanya dua gedung dari rumah sakit ini. Lima menit juga sampai.”

Berjalan tidak buruk juga. Tentu saja bagi kalian yang memiliki mobil pribadi jarang bisa menghargainya. Lagipula cuaca dingin Bandung mendukung aktivitas itu. Sepanjang jalan terus terdengar keluhan Nabilah dan Ken yang tiba-tiba bisa akur kembali. Padahal selama ini selalu saling lempar kata-kata sinis.

Teras galeri itu becek. Seorang kakek yang kemungkinan salah satu pengurus gedung galeri itu terlihat menyiram air ke tanah memakai ember kecil dan gayung kayu bergagang panjang. Beliau menyapa kita, “Pagi, Neng. Pagi, Jang.”

Kita semua menjawab salam tersebut tanpa semangat memadai.

Warna hijau mendominasi semua dinding gedung galeri. Setiap ruangan tertutup rapat. Kemungkinan besar untuk menjaga agar semua karya tidak terjamah debu. Area pertama yang kita temui saat memasuki gedung adalah area patung. Area ini penuh dengan patung (pasti), arca, ukir-ukiran baik itu ukiran di atas kayu maupun batu, dan pilar-pilar yang menjulang tinggi.

Nabilah dan Ken terpesona sekali pada sebuah patung telanjang dewa Yunani.Menjijikkan.

Area kedua adalah wilayah abstrak. Yang dipajang di sini kebanyakan berupa benda-benda tidak beraturan. Misal kotak yang disusun melingkar diberi judul ‘Nyawa seorang gadis’. Dimana ada unsur ‘gadis’-nya?

Kunjungan berakhir di area ketiga. Area lukisan dan fotografi. Lukisannya cukup beragam. Aku paling suka lukisan pemandangan air terjun yang dilukis seseorang berinisial T.A.

Lalu kusadari kelakuan kalian mulai aneh. Terlihat panik namun sekaligus bersemangat.

Baddy menarik tangan Frans, “Kau harus melihat yang satu ini.”

Ribut sekali. Berlarian di galeri. Orang-orang bakal mengira kita tidak dididik secara benar. Pengunjung lain mengernyitkan dahi mereka melihat kalian.

“Ayo, kau juga harus melihatnya!” Fahira bercericit penuh semangat pada Gaby.

“Melihat apa?” tanya Gaby.

“Sesuatu.” jawab Fahira.

Sesuatu apa? Yang kalian maksud apa?

“Frieska mana!? Frieska, woi Frieska.” Carada berteriak-teriak.

Tambah kacau.

“Tunjukkan pada Frieska foto itu.” suara Sonya melengking gugup.

Foto apa?

“Imban! Lue ngeliat Frieska nggak?” Radith mengguncang tubuhku.

“Tidak.” Kutepis tangan Radith.

Frieska lagi, Frieska lagi.

“Itu dia Frieska.” Mova menyongsong Frieska. “Ayo ikut.”

“He? Kemana?” Frieska kebingungan.

“Ikut saja.” kata Mova.

Aku mengikuti mereka. Kalian semua telah berkerumun di depan sebuah foto. Berceloteh tidak tentu arah. Bising dan mengganggu. Foto apa yang kalian ributkan? Itu yang terpatri di otakku.

Frieska mendekati foto itu dengan ekspresi despresi. “I-itu aku kan?” suaranya bergetar.

Sebuah koor suara mengiyakan pertanyaannya.

Foto tersebut berukuran 50 x 40. Frieska di dalam foto terlihat menutupi matanya. Silau oleh lampu blitz kamera. Posisinya aneh. Seperti melayang. Tangga yang menjadi latar belakang mengingatkanku pada sesuatu.

Sinting!!

Tidak salah lagi, foto itu diambil beberapa detik sebelum Frieska terjatuh. Kecelakaan itu...

Siapa yang memotretnya?

Shania memekik, “Li-lihat kartu informasi di bawah foto ini.”

Frieska Anastasia Laksani. Sang Imbesil.

“I-imbesil?” Cleopatra menyeruak maju. “Pantas saja kalau begitu.”

“Pa-pantas?” Andy megap-megap bertanya. Dia terjepit diantara badan Radith yang tinggi dan tubuh Gio yang gemuk.

Cleo meraung. “Pak Richard di hari itu bilang jika tak ada satupun anak yang menemukan siapa itu Imbesil, maka kita akan dihukum. Tak ada hukuman kan? Karena memang ada ‘seseorang’ yang menemukan siapa Imbesil yang Pak Richard maksud. Orang itu juga yang memotret hal ini!” Cleo menepuk foto tadi.

Pertanyaan baru pun bermunculan. Kalian berebut mengemukakan pemikiran masing-masing.

“Kenapa Frieska yang menjadi Imbesil-nya?” tanya Melody.

“Apa Pak Richard tahu akan hal ini?” tanya Fahira tidak mau kalah.

“Siapa pelakunya?” seru Micah pelan.

Pelakunya? Pasti si nomor 25 kan! Pasti dia!

“Aku ingat sekarang,” lirih Frieska. Dia mulai terisak. “Waktu itu kelompokku sedang mencari siapa si Imbesil. Kami melewati tangga. Ada yang memanggilku. Aku tidak tahu siapa. Gaby dan yang lain terus berjalan sementara aku berbalik mengejar orang yang memanggilku. Orang itu bersembunyi di celah di dekat tangga. Dia mendorongku saat aku melewatinya. Dia…” Tangis Frieska pecah sejadi-jadinya. Sonya memeluk Frieska untuk menenangkannya.

“Aku punya ide.” Frans berhasil menarik perhatian kita yang sempat terdiam mendengar tangisan Frieska. “Kita tanyakan saja pada pengurus galeri siapa yang mengirim foto ini.”

“Oh, kau jenius, Frans,” puji Mova.

Huh. Aku kan juga sudah memikirkan ide itu. Frans aja yang duluan ngomongnya.

Frieska beserta Frans bergegas menuju ke bagian penerangan. Bertanya perihal foto tersebut. Pemuda berbaju batik yang berada di sana memberitahu mereka bahwa pengurus galeri sedang menghadiri lelang. Kalau kita ingin bertemu dengannya harus kembali malam nanti.

Malam.

Keputusan baru dibuat. Tak ada lagi yang berniat pulang hari ini. Semua penasaran ingin tahu pelakunya. Bu Donna buru-buru mem-booking ulang penginapan untuk kita.

Malamnya. Frieska didampingi Frans dan Rudy kembali ke galeri. Tapi ternyata pengurus galery masih belum kembali. Terpaksa mereka harus menunggu. Frans yang sangat penasaran, jadi tidak sabaran. Ia pamit pada Frieska dan Rudy untuk berjalan-jalan di luar sebentar untuk menghabiskan waktu.

Kini tinggallah Frieska dan Rudy di dalam galeri yang sepi itu. ”Kira-kira siapa ya pelakunya?” tanya Frieska.

”Ah, aku juga nggak tahu.” kata Rudy kaget. Ia sedang asyik melirik dada bulat Frieska ketika gadis itu bertanya.

”Awas kalo sampai ketahuan, bakal aku balas.” geram Frieska sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, membuat payudaranya yang montok makin kelihatan membusung indah.

Rudy menelan ludahnya sebentar sebelum menyahut, ”Iya, tega bener tuh orang.”

”Aku kan tidak melakukan apa-apa, main dorong aja sembarangan, emang tubuhku ini robot!!” sambung Frieska makin emosi. Rudy bengong melihat Frieska ngomel.

”Hei! Halo... Rud, kok kamu malah bengong sih?!” kata Frieska mengagetkan Rudy.

“Eh, mm... anu, aku... terpesona sama kamu,” jawab Rudy terbata. Terpesona sama payudara kamu lebih tepatnya, tambahnya dalam hati.

”Orang aku tuh lagi marah kok malah terpesona, aneh!” Frieska agak mereda emosinya melihat muka tolol Rudy.

”Iya, abis kamu kalo lagi marah ekspresinya cantik banget.” kata Rudy terus terang.

”Hei, kita tuh lagi nyari siapa pelaku kejahatan di kelas kita, kok kamu sempat-sempatnya ngerayu sih? Urusin tuh pacar kamu, si Melody, dari kemarin ganjen mulu.” kata Frieska mengingat kelakuan Melody dengan Sonya di peternakan sapi.

”Biarin aja, dia memang suka gitu.” kata Rudy cuek, matanya terus menatap bulatan payudara Frieska yang memang berukuran sangat besar.

”Ah, itu kan gara-gara kamu!” sergah Frieska sinis.

”Hei, apa maksud kamu?” tanya Rudy tak mengerti.

”Sudahlah, jangan pura-pura bodoh. Melody cerita semua kok ke aku, apa yang sering kalian lakukan berdua,” kata Frieska sambil tersenyum.

”Emm… emang Melody pernah cerita apaan?” kata Rudy gugup.

”Ya gitu deh; mulai dari ciuman, raba-raba, sampai… hihihi,” goda Frieska.

”Sampai apa, Fries? Terusin dong,” kata Rudy penasaran sambil mendekati tempat duduk Frieska.

”Sampai lemes, katanya, hihihi... hayo ngaku!” todong Frieska.

”Dasar Melody, masalah gituan diceritakan,” Rudy kini duduk di kursi sebelah Frieska.

”Ya nggak apa-apa lah, kan sekalian memberi pengetahuan buat aku.” kata Frieska genit.

”Emang kamu belum pernah begituan?” tanya Rudy penasaran. 
Pikiran kotornya mulai bekerja.

”Yeee... aku kan belum punya pacar. Belum pernah main gitu-gituan, masih polos, masih suci gitu loh.” kata Frieska agak malu-malu.

”Yang sama adikmu dulu apaan?” desak Rudy.

Muka cantik Frieska langsung memerah. ”Itu kan cuma main-main! Lagian, cuma sekali itu. Aku takut ngulangi lagi, takut hamil.”

”Yaelah, Frieska cantik, petting tuh nggak bakalan bikin kamu hamil,” sahut Rudy mantab.

”Mmm… tapi, tetap saja takut.” Frieska kelihatan penasaran.

”Sini, hadap sini, aku kasih tahu.” kata Rudy sambil menarik kursi Frieska sehingga kini mereka berhadapan dengan jarak yang teramat dekat. ”Petting itu adalah wujud ungkapan kasih sayang kita pada orang yang kita cintai, karena bila kita sangat menyayangi pasangan kita maka kata-kata aja tidak bakalan cukup untuk mengungkapkannya.” kata Rudy sok dewasa dan sok romantis.

”Emang rasanya gimana?” Frieska mulai terhanyut dengan kata-kata indah dari Rudy.

”Rasanya tuh tergantung seberapa sayang kita sama pasangan kita. Semakin kita menyayangi, rasanya semakin luar biasa!” ucap Rudy.

”Iya sih, kata Melody enak banget.” sahut Frieska polos.

”Cewek secantik kamu selayaknya merasakan ciuman yang paling indah dan luar biasa,” rayuan Rudy semakin membuat Frieska terhanyut.

”Ihh, apaan sih?” gadis itu tersipu.

”Fries, sebenarnya dari dulu yang aku taksir tuh kamu, karena aura kecantikanmu tuh terpancar begitu kuat.“ sambil berkata, mata Rudy menelusuri tubuh montok Frieska yang terlihat begitu menggoda dan menggiurkan.

”Tapi, kan lebih cantik Melody daripada aku.” Frieska semakin melayang mendengar pujian Rudy.

”Memang Melody kelihatan lebih cantik, itu karena cara berdandan dia emang pintar. Tapi kalo kamu, tanpa make-up pun, aura kecantikanmu memancar keluar.“ kata Rudy sambil meraih tangan Frieska.

Frieska tidak menolak ketika tangannya digenggam dan dicium oleh Rudy, namun dia tidak berani menatap wajah tampan Rudy karena malu.
Perasaan Frieska melambung ke awang-awang, karena baru pertama ini tangannya digenggam dan dicium cowok dengan sangat mesra.

”Aku ingin mencium kamu, boleh nggak?” bisik Rudy dengan suara syahdu. Frieska hanya tertunduk malu. Perlahan wajah Rudy mendekati wajah Frieska, dan sedetik kemudian bibir Rudy menempel pada bibir gadis itu. Dengan lembut Rudy melumat bibir Frieska sambil tangannya tetap menggenggam tangan Frieska.

Beberapa saat mereka berciuman, lalu mereka saling memandang dengan tatapan sayu. ”Aku sayang kamu, Fries.” bisik Rudy sambil menatap mata Frieska.


”Hmm... aku juga, Rud.” bisik Frieska manja sambil memeluk Rudy dan membenamkan mukanya ke pundak pemuda itu karena malu.

Rudy membalas pelukan Frieska. Sambil mengelus punggung Frieska, beberapa saat kemudian mereka kembali berciuman. Kali ini lebih mesra karena Frieska juga aktif melumat bibir Rudy. Frieska benar-benar sudah terhanyut oleh ciuman Rudy, ditambah tangan Rudy yang mengelus-elus seluruh permukaan punggungnya, membuat gairah Frieska  yang selama ini terpendam jadi menggelora.

Perlahan rabaan tangan Rudy mulai ke depan, ia mengelus payudara Frieska yang masih tertutup rapat oleh pakaian dan switernya. ”Eeehh...” desah Frieska menggeliat ketika tangan nakal Rudy meremas lembut bongkahan payudaranya dari luar. Ia semakin erat memeluk leher Rudy sambil membenamkan wajahnya ke pundak pemuda itu. Tangan Rudy yang satu memeluk leher Frieska sedang yang satu aktif meraba dan meremas payudara gadis itu.

”Aku sayang kamu, Fries.” bisik Rudy di telinga Frieska. Meski tertutup rambut, namun hembusan nafas Rudy begitu terasa di telinga Frieska,  membuat geli tubuh gadis itu hingga seluruh bulu kuduknya meremang.

”Ahhh...” hanya itu yang bisa diucapkan Frieska sambil menggeliat. Kini jari tangan Rudy mulai membuka kancing atas sweaternya, lalu tangan itu menyelinap masuk ke dalam kaos tipisnya. Frieska semakin mendesah dan matanya semakin terpejam manakala tangan Rudy menangkup erat bulatan payudaranya. Ia tampak menikmati elusan dan rabaan pemuda itu, putingnya terasa sangat geli dan nikmat.

Tiba-tiba terdengar langkah kaki dari jauh ke arah ruang galeri. ”Ada orang!!” kata mereka kaget berbarengan. Buru-buru Rudy menjauh, sedangkan Frieska segera merapikan pakaiannya yang sedikit acak-acakan. Nafas mereka nampak berat dan terengah-engah. Ternyata suara langkah kaki tersebut berbelok ke arah lorong di sebelah pintu galeri.

”Fiuhhh…” desah Rudy lalu memandang Frieska.

Frieska juga memandang pemuda itu, sejenak mereka saling pandang, nafas mereka masih agak terengah-engah dan gairah mereka masih menyala-nyala. Frieska bergegas berdiri dan menghampiri Rudy lalu memeluknya, Rudy menyambut pelukan Frieska dengan penuh semangat, mereka pun kembali berciuman dengan begitu ganasnya.

”Mmm... bentar, Fries.” kata Rudy melepas ciuman dan pelukan, lalu membimbing Frieska ke arah jendela galeri yang tertutup tirai, dan menghadapkan gadis itu ke luar. ”Kalo ada orang, bilang ya, sayang.” bisik Rudy sambil memeluk tubuh montok Frieska dari belakang.

Frieska mengangguk sambil tangannya kini bertumpu pada jendela, sementara matanya mengintip keluar mengawasi kalo ada orang
yang datang. Rudy memeluknya dari belakang sambil menciumi telinga dan lehernya. Tangan pemuda itu kini dengan leluasa menggenggam payudara Frieska dari balik bajunya.

Kancing baju atas Frieska dibuka kembali oleh Rudy, lalu tangannya menyelinap dari bawah BH gadis itu. Seluruh payudara Frieska yang besarnya minta ampun itu kini berada dalam genggaman kedua tangan Rudy, dielus dan diremas-remasnya benda itu dengan pelan.

”Ssss... ehh…” desah Frieska, ia mendongakkan kepala dan sedikit memejamkan mata ketika Rudy memilin putingnya.

Rudy semakin menempelkan bagian bawah tubuhnya ke bokong Frieska, sehingga penisnya yang masih berada dalam celana dapat merasakan kekenyalan bokong gadis itu. Digesek-gesekkannya penis tersebut ke bokong montok Frieska.

Dengan reflek Frieska menyambut gesekan penis Rudy dengan sedikit menunggingkan bokongnya ke belakang, sehingga kini bokongnya dan penis Rudy semakin menempel dan menggesek lebih kuat. Frieska semakin mendongak dan menggeliat merasakan kenikmatan yang baru pertama ini dia rasakan.

”Angkat rok kamu ke atas, Fries.” bisik Rudy sambil terus meremas payudara Frieska.

Frieska yang sudah teramuk gelora nafsu remajanya, mengikuti perintah pemuda itu. Ia mengangkat rok panjangnya ke atas dan dengan satu tangan menahan ujung rok itu agar tetap terangkat, sedangkan tangan satunya kembali bertumpu pada jendela.

Nafas Rudy semakin terengah melihat pemandangan itu. Bokong Frieska terlihat begitu padat dan bulat meski masih tertutup oleh celana dalam. Ia semakin liar meremas payudara Frieska  dengan tangan kirinya, sedangkan tangan satunya berusaha menurunkan celana dalam gadis itu. Rudy tak tahan untuk segera menelanjangi Frieska, si cantik yang berdada besar ini.

”Aaaahh...” desah Frieska panjang dan kaget ketika merasakan ada benda keras dan hangat menempel erat di belahan pantatnya. Ternyata Rudy sudah membuka resleuting celana dan mengeluarkan penisnya. Sedangkan celana dalam Frieska juga sudah melorot sampai ke paha.

Rudy segera menaik-turunkan pinggulnya agar penisnya dapat merasakan kehangatan dan kemontokan bokong Frieska. Secara naluri Frieska menyambutnya dengan menggerakkan pinggulnya juga. Sambil sesekali mengintip keluar mengawasi keadaan, gerakan dan geliat Frieska semakin liar menyambut sodokan penis Rudy yang kini berada di antara pahanya sehingga bergesekan langsung dengan vaginanya yang berbulu halus.
Sensasi yang mereka rasakan sungguh menggelora luar biasa karena disertai dengan perasaan was-was kalo ada orang datang.

“Aaaaaahhh... Frieska sayang,” bisik Rudy menciumi pipi Frieska yang sebagian tertutup rambut.

Frieska yang baru pertama ini merasakan kenikmatan yang begitu indah tidak sanggup lagi berkata-kata, dia hanya terpejam dan mendongak dan sudah tidak peduli lagi dengan tugasnya mengawasi keadaan luar. Frieska semakin menunggingkan pantatnya ke belakang agar seluruh permukaan vaginanya yang basah kuyup bisa tergesek semua oleh penis Rudy.

”Aaaeeehhh…” desah Frieska panjang, matanya semakin terpejam rapat ketika dia sudah tidak sanggup lagi menahan gelora birahi yang segera menggelegar. ”Aaaaahhhhh…” dengan gerakan pinggul yang liar dan desahan yang panjang, seluruh tubuh Frieska bergetar merasakan orgasme yang melanda dengan hebatnya.

Rudy memeluk dengan kuat tubuh Frieska yang bergetar, dicengkeramnya kedua payudara Frieska sambil terus menggesekkan penisnya dengan kuat ke vagina gadis itu. ”Ooooouuhhh…” Dan berbarengan dengan beberapa kali sodokan yang begitu kuat ke bokong Frieska, Rudy mengerang panjang ketika spermanya memancar deras dari batang penisnya.

Ruang galeri terasa begitu hening, hanya nafas mereka berdua yang terdengar. Nafas yang terhembus dan keringat yang membanjir serta aroma sperma dan cairan kewanitaan mengantar kedua insan tersebut melayang menikmati sensasi orgasme.

Tepat saat itulah, datang dua orang dari pintu depan; Frans dan pengurus galeri. Frieska dan Rudy segera membenahi pakaian mereka untuk bersiap menyambut kedatangan mereka.

***

Kita menunggu mereka pulang dengan gelisah. Satu jam. Dua jam. Tiga jam lebih!

Frans cs akhirnya pulang juga. Wajah Frieska pucat. Menolak bicara dengan siapapun. Kita menyerbu Rudy dan Frans.

Rudy yang duluan membuka mulut, “Aku—“

Frans berdeham. Menjengkelkan sekali anak itu. Sepertinya dia iri kalau Rudy memegang kendali.

Rudy melanjutkan walau rada kesal diganggu Frans. “Maksudku, ‘kami’…” Kata ‘kami’ diucapkannya dengan intonasi tinggi supaya didengar Frans. “… sudah bertemu dengan pengurus galeri. Ternyata fotonya dikirim melalui pos. Tanpa nama dan alamat.”

“Kesimpulannya: kalian kehilangan petunjuk?” todong Cleopatra.

“Tidak,” kata Frans. “Pengirim foto itu pernah menelpon pengurus galeri. Satu hal yang diingat beliau adalah suara si pengirim yang kering dan mengerikan. Sebuah galeri seharusnya tidak boleh memajang karya yang tidak jelas sumbernya. Tapi pengurus galeri berpendapat foto itu terlalu unik untuk dibuang. Karena itulah galeri bersedia memasangnya di sana.”

Spontan kita semua berpaling memandangi si nomor 25 yang mematung cukup jauh dari kerumunan kita. Ekspresinya memuakkan seperti biasanya.

Pasti. Pasti. Kubilang juga pasti. Siapa lagi kalau bukan si nomor 25 pelakunya!

(Imban Sentot Adjie)

***

Diary Hari Keduapuluhsatu

Hamparan langit membentang
Mari terbang di awan bersama-sama
Dua puluh empat anak pulang
Lelah dan marah pada anak keduapuluhlima

Sayap yang mengembang
Semangat pun membara
Bus melaju kencang
Tak satupun yang berbicara

Bunga-bunga bersemi
Menarik kumbang dengan aroma
Kecelakaan yang kami alami
Mengacu pada pelaku yang sama

Beruang terbangun dari tidur pulas
Tong-tong madu dibuka
Anak itu harus dibalas
Agar dia jera berbuat celaka

Seorang pelari melemparkan galah
Melambung jauh dari tempatnya berdiri
Selamat sampai di sekolah
Berjanji mengadakan rapat esok hari

(Andy Dhanie Elfani)

***

Diary Hari Keduapuluhdua

*The Fool*

Imbesil. Awal dari semua bencana. Kecelakaan yang dialami Frieska. Bukti suatu kebodohan. Bukan kebodohan Frieska semata. Tapi juga kebodohan kalian yang tidak mempercayai ramalanku.

*The Magician*

Bagaimana cara si nomor 25 melakukannya? Gaby bilang Frieska selalu berada di dekat mereka. Tak pernah terpisah. Frieska bilang dia meninggalkan mereka, dan terjadilah kecelakaan itu. Siapa yang benar? Keduanya bukan pembohong seperti Imban.

Mungkinkah si nomor 25 memakai trik tertentu? Sihir?

*The High Priestess*

Lalu bagaimana dengan kecelakaan-kecelakaan lainnya? Kesetrum. Dihujani pecahan kaca. Tabrakan truk. Keracunan makanan. Siapa pelakunya?

Jangan lupa foto Icha yang menjadi ‘aib kelas’. Selalu saja berkaitan dengan si nomor 25. Seolah kita dirundung nasib buruk jika berada di dekatnya.

*The Empress*

Untuk pertama kalinya semua anak datang ke sekolah di pagi buta. Si nomor 25 belum datang, rapat pun diadakan. Secara bergiliran anak yang ingin mengutarakan pendapatnya diberi kesempatan berbicara.

Kelas terbagi tiga blok. Blok pertama dipimpin oleh Radith mengusulkan si nomor 25 diberi pelajaran. Hukuman. Supaya dia jera dan ‘tahu bagaimana rasanya dicelakai’ (mengutip kata-kata Ken). Anggotanya adalah Ken, Nabilah, Cleopatra, Frieska, Icha, Imban, Shania dan Baddy.

Blok kedua adalah blok netral. Mereka ikut apapun keputusan kelas. Blok ini diisi Gio, Fahira, Rica, Andy, Ochi, Rudy, Sonya, Haya dan aku.

Oposisinya adalah blok ketiga. Dikomandoi Frans yang berpendapat tidak ada bukti nyata pelakunya adalah si nomor 25. Menghukum si nomor 25 berarti main hakim sendiri. Pendapat itu didukung Mova, Melody, Gaby, Micah dan Carada.

“Kita ambil suara saja seperti kemarin!” usul Cleopatra.

“Tidak bisa begitu…” kata Mova. “Kalau dihitung jumlah, jelas kalian menang.”

“Sudah tahu begitu kok masih bersikeras!” sindir Icha. “Kalian kan tidak mengalami sendiri hasil perbuatan si nomor 25. Sesekali pikirkan perasaan kami dong.”

Kelompok Frans terdesak. Kalah suara dan kelompok netral yang cenderung mendukung kelompok Radith memaksa mereka setuju. Dengan berat hati tentunya.

“Tapi kami punya syarat,” kata Frans. “Hukumannya tidak boleh berupa fisik.”

“Tidak boleh terlalu berat,” tambah Mova.

“Kalau berlebihan harus segera dihentikan,” tutup Gaby.

“Akur!” sambar Radith. Dia takut mereka berubah pikiran lagi.

Andy mengangkat tangan. “A-anu, hu-hukumannya apa?”

“Itu kita pikirkan nanti,” jawab Ken. “Kita rapat lagi di akhir hari.”

*The Emperor*

Haya kelimpungan menangani tugas kelas. Rudy yang biasanya membantu masih kesal padanya. Sehingga Haya pontang-panting mengerjakannya sendiri.

*The Hierophant*

Frieska dan Melody bertengkar hebat karena berebut Rudy. Tidak terhitung lagi sudah berapa kali kita melihat Melody histeris. Tapi Frieska, jarang-jarang dia kehilangan kontrol seperti itu. Selama ini mereka juga belum pernah bertengkar. Rapat pagi tadi sedikit banyak mempunyai andil untuk memecah belah kita.

*The Lovers*

Sekarang Rudy dan Frieska kemana-mana pasti berdua. Carada bersuit-suit setiap melihatnya.

*The Chariot*

Oh ya, apa kalian tahu Baddy naik mobil hari ini? Dia menyetir sendiri. Anehnya dia kebingungan dimana harus memarkirnya.

*Strength*

Radith memukuli anak kelas tiga! Katanya dia marah anak itu mendorong Micah tapi menolak minta maaf. Dasar nekat! Kalau ketahuan guru, gimana coba!?

*The Hermit*

Si nomor 25 mau sok akrab. Dia menyapa Andy di ruang musik. Kaget setengah mati, Andy menjatuhkan klarinet yang dipegangnya. Suara gadis itu membawa aura kemalangan bagi kita.

*The Lust*

”Dingin ya hari ini?” kata Fahira.

”Iya, sepi, suasananya tenang sekali.” timpal Sonya sambil melangkah menuju ke pepohonan. 
Mereka sedang berada di halaman belakang sekolah.

”Foto-foto yuk,” Fahira mengeluarkan HP-nya.

”Oke,” sahut Sonya lalu berpose dengan centilnya, Fahira memotretnya beberapa kali.

”Gantian dong,” Fahira menyerahkan HP-nya kepada Sonya, lalu dia ganti berpose.

”Yang sexy dong posenya, nggak ada orang kok.” kata Sonya.

”Begini?” Fahira bersandar di pohon cemara sambil satu tangannya mengangkat ujung roknya agak ke atas sehingga pahanya yang putih kelihatan.

”Haha, ya begitu.” cekrek! Sonya mengambil gambar beberapa kali sambil tertawa.
Fahira terus berpose cukup menantang.

”Wow, yang ini sensual banget, hihihi.” Sonya menunjukkan foto yang barusan ia jepret.

Foto tersebut posenya sangat sexy; Fahira bersandar di pohon, tangan yang satu terangkat ke belakang, sementara tangan yang lain mengangkat ujung  roknya cukup tinggi sehingga celana dalamnya sedikit kelihatan. Di pose berikutnya, terlihat Fahira jongkok dengan satu lututnya menempel di tanah, sehingga celana dalamnya makin kelihatan dan pahanya yang putih mulus terekspos makin jelas.

”Hihihi… keren banget, sexy!” kata Sonya mengomentari.

”Sekarang aku yang ambil gambar,” Fahira meminta HP dari Sonya.

Sonya mulai berpose tidak kalah panas. Dia berdiri membelakangi kamera sambil berpegangan pada pohon cemara, sementara di belakang, ia angkat roknya tinggi-tinggi sampai bokongnya yang montok putih mengintip karena Sonya tidak memakai celana dalam.

”Duh, jadi kebelet pipis nih, ke toilet dulu yah?” kata Fahira begitu melihat kemulusan tubuh temannya.

”Katanya pemberani… disini aja, kan tertutup pohon-pohon.” 
tantang Sonya.

”Emm...” Fahira terlihat ragu-ragu.

”Ayo, berani nggak? 
Dasar penakut!” ejek Sonya.

”Tapi, abis aku ntar kamu ya?” Fahira menantang balik.

”Oke, hehehe...” sahut Sonya diiringi tawa mereka berdua.

Fahira sebentar menoleh ke sekeliling, dan memang tidak ada yang melihat. Dia lalu melangkah ke arah semak yang rimbun diikuti oleh Sonya.
Tangan Fahira masuk ke dalam roknya dan menarik lepas celana dalamnya. Fahira mengantongi benda mungil itu, lalu dia jongkok menghadap semak-semak.

”Eits, hadap sini dong,” Sonya memegang pundak Fahira agar menggeser posisi jongkoknya.

”Hah! Kok direkam sih?” Fahira kaget dan merapatkan kedua pahanya untuk menyembunyikan lubang vaginanya.

”Nanti pas aku direkam juga, buat dokumentasi, hihihi.” kata Sonya sambil jongkok di depan Fahira dan mengarahkan kamera HP-nya ke selangkangan Fahira yang perlahan-lahan mulai berani membuka, menampakkan vaginanya yang menggembung menahan pipis.

Fahira mengawasi keadaan sekeliling. Kadang-kadang memang di kejauhan tampak murid lain berjalan, namun tidak ke arah mereka. Fahira kesulitan untuk pipis karena tidak terbiasa melakukannya di tempat bebas seperti ini.

”Emm... nggak mau keluar nih,” kata Fahira sambil melihat ke arah vaginanya.

”Itu, sudah keluar sedikit-sedikit.” Sonya terus merekam. Beberapa saat kemudian, seerrrrrr… kencing Fahira memancar dengan derasnya. ”Aow…” 
Sonya beringsut ke belakang karena kakinya terciprat kencing Fahira.

”Hihihi, rasakan!” kata Fahira mengeluarkan semua pipisnya. Setelah selesai, ia mengambil tisu di kantongnya lalu mengelap vaginanya. Sambil melakukannya, ia sengaja membuat ekspresi merem melek keenakan, membuat Sonya yang sibuk merekam tertawa keras.

”Sudah, sekarang giliran kamu.” Fahira berdiri dan merapikan roknya, ia bermaksud memakai celana dalamnya kembali, tapi...

”Hei, janjinya kan nggak dipakai,” tegur Sonya.

”Tapi…” belum sempat berkata-kata, Sonya dengan cepat menyambar celana dalam tersebut dan mengantonginya. Fahira hanya bisa cemberut diiringi tawa genit Sonya.

”Sekarang aku yang kencing, kamu rekam ya?” Sonya memberikan HP-nya pada Fahira. ”Aku lebih berani daripada kamu! Lihat nih, sambil nungging!” kata Sonya sambil mulai menarik roknya ke atas.

”Hah! Yang bener? Dasar gila,” kata Fahira kaget.

Setelah memastikan sekeliling aman dan posisinya terlindung semak-semak, Sonya berpegangan pada pohon membelakangi kamera, lalu kakinya mengangkang lebar-lebar dan merendahkan pinggulnya; nungging!

”Cleguks…!!” Fahira yang merekam menelan ludah karena kini vagina Sonya yang montok berbulu halus menyembul di antara bokongnya yang putih sekel. Sebelum air pipisnya keluar, Fahira iseng mencolek vagina Sony.

”Aww... ih, Putri! Jangan dicolek dong, nanti nggak bisa pipis.“ sewot Sonya. Lalu dia kembali nungging, vaginanya semakin menggembung montok karena pipisnya kini keluar. Fahira terus merekam dengan penasaran dan agak menjauh, takut terciprat.

Seeeeeerrrr… vagina Sonya merekah mengeluarkan pipisnya, sedikit lebih banyak dari pipis Fahira. Meskipun kakinya sudah mengangkang lebar-lebar, namun tak urung air itu menciprat juga ke kedua pahanya yang putih, dan mengalir ke arah betisnya hingga sampai ke bawah. Untung Sonya sudah melepas sepatunya tadi sehingga tidak sampai basah.

Setelah pipisnya berhenti dan hanya menyisakan beberapa tetes terakhir, Sonya bermaksud mengelap vaginanya memakai tisu. ”Sini, aku bersihkan,” kata Fahira, ia menyimpan HP di sakunya. Sonya cuma mengangguk mengiyakan. Fahira lalu jongkok di belakang gadis itu yang masih menungging dan membersihkan vagina Sonya dari air kencing.

”Aaahhhh...” Sonya melenguh pelan ketika Fahira iseng menggesek kelentitnya.
”Ihh, gemes!“ Fahira mencubit vagina Sonya yang menggembung.

”Auw! Ihh, dasar! Cepetan di lap,” Sonya kaget dan menoleh ke belakang.

”Hihihi… habis vagina kamu montok banget, jadi gemes.” kata Fahira sambil menjepit bibir vagina Sonya dengan jari dan mempermainkan kelentitnya.

”Aaahhh...” Sonya menggeliat dan menggoyangkan pinggulnya.

”Sonya, aku cium yah?” kata Fahira sambil langsung menempelkan bibirnya pada vagina Sonya yang mulai licin dan kembali menggembung karena terangsang.

”Aooww... aaahh!” Sonya sangat kaget, namun Fahira yang jongkok bertumpu pada lututnya sudah mendekap pinggulnya. Sonya menggoyangkan pinggulnya kegelian nikmat ketika lidah Fahira mulai menggelitik kelentitnya. Terbawa oleh permainan lidah Fahira, Sonya semakin merenggangkan kakinya dan menunggingkan pantatnya agar seluruh vaginanya terelus oleh lidah gadis itu.

Fahira melakukan perbuatan tersebut sambil deg-degan terbawa nafsu, dan juga was-was kalo ada murid lain yang lewat. Tapi semua aman sampai sejauh ini. Fahira semakin erat mendekap pinggul Sonya dan lidahnya semakin dalam masuk ke dalam celah vagina gadis itu.

”Eh, ada orang! Ada orang!” teriak Sonya lirih karena di kejauhan ada serombongan murid yang mencari tempat untuk berteduh saat pelajaran olahraga.

Kaget setengah mati karena nafsu yg membubung, Fahira dan Sonya  langsung bersembunyi di balik semak sambil merapikan pakaian masing-masing. Nafas mereka masih berat dan memburu.

Setelah beberapa saat menunggu, ternyata rombongan murid tersebut berbelok ke arah kantin. Mereka selamat.

”Oke, sudah aman. Ayo kita pergi,” kata Fahira memberi aba-aba.

”Mm, kita lanjut di kamar kecil yuk?” bisik Sonya diiringi anggukan Fahira. 
Mereka berdua segera menuju kamar kecil di pojok sekolah. Sonya langsung menarik Fahira masuk ke dalam salah satu ruang toilet. Setelah mengunci pintu, mereka langsung berpelukan dengan erat dan berciuman dengan ganas. Tangan mereka saling meremas bokong dan payudara pasangannya.

“Aku pengen seperti yang tadi, sambil nungging.” bisik Sonya. Setelah melepas pelukan, dia langsung membelakangi Fahira. Tangannya bertumpu pada bak air dengan posisi menungging. Fahira jongkok di belakangnya, bertumpu pada kedua lututnya, lalu menyingkap rok Sonya sampai ke pinggang. Vagina Sonya yang menggembung montok menyembul di antara bongkahan pantat gadis itu yang semok dan putih.

”Aaaaahhh...” desah Sonya sambil menggoyangkan pinggulnya ketika Fahira mendekap pinggulnya dan langsung menyedot vaginanya. Bibir Fahira menjepit kedua bibir vaginanya berkali-kali.

”Uuuuuuuuuuhhh…” Sonya mendorong pinggulnya ke belakang ketika lidah Fahira semakin liar menjilati kelentitnya. Pinggul Sonya meronta semakin liar dalam dekapan Fahira ketika dia merasakan gelombang kenikmatan mulai melanda tubuh mudanya.

”Ahhhh... ahhhh… aaaahhh!!!” diiringi desahan panjang yang lirih dan gerakan pinggul yang semakin liar, gigitan lembut Fahira pada kelentitnya membawa Sonya pada gelombang orgasmenya yang sangat dahsyat.

”Aaaah... aahhhh...” Sonya lemas terengah-engah bertumbu pada bak air, sedangkan pinggulnya lemas tertahan pelukan Fahira.

Fahira membiarkan Sonya menikmati orgasmenya, dia mendekap pinggul Sonya sambil mengecupi bokong montok gadis itu. Setelah beberapa saat, Sonya pulih kembali, lalu berdiri dan berpelukan dengan Fahira, saling mengecup mesra.

”Sekarang kamu ya?” Sonya membalikkan tubuh Fahira dan mendekapnya dari belakang, dia sendiri bersandar pada tembok.

”Aaahhhh…” desah Fahira ketika Sonya menciumi bagian belakang telinganya. Dia menyandarkan kepalanya ke arah gadis itu.

Sambil terus mencium, tangan Sonya mulai meremas-remas payudara Fahira dengan lembut. Fahira Putri menekan punggungnya ke belakang untuk merasakan kekenyalan payudara Sonya. Sonya menggigit lembut telinga Fahira, membuat Fahira semakin menggeliat dalam kenikmatan, dengan tangannya mulai melepas kancing seragam Fahira satu per satu.

”Aaaaahhhhh…” desah Fahira ketika tangan Sonya menyusup ke dalam BH-nya dan meremas lembut bulatan payudara montoknya. Sementara tangan Sonya yang lain menarik rok panjang Fahira, lalu dari bawah, tangannya merayap mengelusi paha mulus gadis itu.

”Eeeehhhhh…” Fahira mengerang lirih sambil menggeliat dan merenggangkan pahanya, memberi ruang pada jari-jari tangan Sonya untuk mengelusi vaginanya yang berbulu lembut.

”Fahiraa…” bisik Sonya sambil terus meremas payudara Fahira dan menggesek vagina gadis itu. Fahira semakin menggeliat liar dan menekankan punggungnya pada payudara Sonya semakin kuat. Jari-jari Sonya juga semakin cepat menggosok vagina Fahira, tepat pada kelentitnya, membuat Fahira semakin teramuk gelombang kenikmatan yang segera datang.

“Aaaaahhh... aaahhhh... aaah!!” ia mendesah panjang karena gigitan Sonya pada telinganya, juga remasan yang semakin kuat pada payudaranya, serta gosokan yang semakin cepat pada vaginanya.

”Aaaahhhh... huuh... huuuuhh...” Fahira terengah-engah lemas dalam dekapan Sonya, menikmati orgasme pertamanya yang meluluh lantakkan tulang.

Tok-tok-tok!!! ”Hei, cepetan!” suara seseorang mengagetkan mereka.

Segera Sonya dan Fahira merapikan pakaian masing-masing. Saat itulah, tanpa sengaja Fahira menyenggol bando Sonya hingga jatuh ke luar jendela.

*Wheel of Fortune*

Di tengah jam pelajaran keempat, Sonya dan Fahira kembali dari toilet dengan mimik mencurigakan. Fahira menulis sebuah memo untuk Ken yang menerimanya dengan bingung. Kita hanya kebagian pesan : Kami menemukan sesuatu!! Pesan itu merayap diam-diam ke setiap anak. Apa yang mereka temukan?

*Justice*

Temuan Sonya dan Fahira bisa membantu rencana balas dendam kita. Pesan
balasan dari Ken itu merayap lebih cepat dibandingkan pesan sebelumnya.

Balas dendam adalah keadilan. Pesan ketiga yang tidak jelas sumbernya ini memicu pro kontra lagi.

Gaby menyampaikan pesan terakhir : Mana ada keadilan yang dilakukan dengan balas dendam!

*Hanged Man*

Jam istirahat. Semua anak tidak sabar untuk melihat sendiri hal yang ditemukan oleh Sonya dan Fahira. Membuat sebuah rombongan besar kita mengikuti Fahira menuju ‘tempat penemuan’ itu. Sonya tidak ikut. “Ngeri,” katanya.

Fahira melewati toilet wanita. Loh bukan disitu? Melewati kelas-kelas yang lain. Murid-murid kelas lain menyingkir melihat kita. Melewati pintu utama gedung sekolah.

“Kok keluar gedung?” tanya Frieska.

“Tempatnya memang di luar,” jawab Fahira cepat.

“Kalian tadi kan ijin ke toilet, kenapa malah keluar gedung?” Haya menghadang Fahira.

“Lama-lama sifat curigaanmu itu ngejengkelin juga ya, Haya,” sindir Fahira. Tangannya dilipat dan ekspresinya keki berat. “Bando Sonya yang ditaruhnya di jendela toilet jatuh ke luar. Makanya kami mencari ke luar.”

“Terus saja, Fahira!” perintah Icha dari belakang.

Fahira menurutinya. Rombongan bergerak kembali. Kali ini sudah mengetahui tujuannya. Fahira mempercepat langkahnya. Kita memutari gedung.

“Kenapa kemari? Daerah belakang sekolah ini kudengar banyak hantunya,” Shania berseru tertahan.

Hmm… Shania tahu juga rupanya. Untuk catatan kalian, aku melihat berbagai ‘penampakan’ kala itu. Lain kali akan kuceritakan pada kalian ‘makhluk’ apa saja yang kulihat di tempat itu.

Fahira berhenti di dekat suatu gundukan. Menunjuk ke atas, “Itu jendela toilet. Bando Sonya jatuh tepat di atas ‘ini’.” Diketuknya gundukan itu dengan kakinya. Terdengar dentang samar.

Bukan gundukan!!

Radith yang berada di dekat Fahira menyuruhnya menepi. Membongkar gundukan tadi. “Ini pintu tingkap.” katanya kemudian. Sebuah pintu beton menyembul kokoh dari balik tanah. Di setiap sisinya ada pegangan panjang dari baja

“Dugaanku benar! Dari deskripsi yang diberikan Fahira dan Sonya, aku tahu itu pintu tingkap menuju ruang penyimpanan.” Ken bersorak kesenangan.

“Hubungannya dengan aksi balas dendam kita apa?” tanya Nabilah tidak sabar.

“Aku punya rencana,” Ken tersenyum misterius.

“Jangan main rahasia-rahasiaan!” Cleo bersungut-sungut.

“No, bukan rahasia kok. Aku cuma merasa belum saatnya rencana ini kubeberkan. Nah kita cek dulu kondisi ruang penyimpanan ini.” Ken menyingkirkan tanah di atas pintu. Mencengkram salah satu pegangan pintu. Mencoba mengangkatnya. “Berat sekali,” keluhnya.

Baddy, Radith dan Gio maju membantu. Ketiganya turut memegang pegangan di sisi yang berbeda. “Siap ya, kita angkat bersamaan… satu… dua… tiga!” Ken memberi komando. Pintu itu terangkat perlahan. Mereka membawanya ke sisi sebelah kiri.

“Tanganku tidak kuat lagi. Lepaskan saja pintunya,” kata Baddy.

Keempatnya serempak melepas pintu itu, menimbulkan bunyi berdebam.

Sembari mengatur nafas, Ken melongok ruang penyimpanan yang sudah terbuka. “Tidak kelihatan apa-apa.”

“A-aku ju-juga mau me-melihatnya.” Andy menerobos maju dari belakang kerumunan. Gara-gara kurang hati-hati, kakinya tersandung sesuatu. Diiringi teriakannya, tubuh Andy meluncur ke dalam ruang penyimpanan. Untung Radith sempat menangkap kaki kirinya. Andy tergantung dengan kaki di atas.

*Death*

“A-apa aku su-sudah ma-mati?” isak Andy. Suaranya menggema.

Radith tertawa. “Belum. Tapi kalau lue mau mati, gue bisa kok ngelepas kaki lue.”

“Ja-jangan…” Andy memohon-mohon.

*Temperance*

“Oke, gue tarik sekarang. Tempelkan tangan lue ke dinding. Cobalah bantu merayap naik dengan kedua tangan lue.”

“I-iya.” Terdengar tepukan tangan Andy di dinding.

Klik!!

Ruangan itu serta merta terang benderang. Wajah pucat Andy terlihat jelas.

“A-apa yang lue lakuin!?” seru Radith kaget. Pegangannya hampir terlepas.

*The Devil*

“Ku-kurasa ta-tanganku ti-tidak sengaja me-menekan se-sebuah saklar.” lirih Andy.

Ken memegang kaki kanan Andy. “Kita tarik sama-sama.”

Radith mengangguk.

Keduanya menarik keluar tubuh Andy.

Setelah mendarat di tanah kembali, Andy beringsut mundur. “I-itu lu-lubang setan,” gumamnya berulang-ulang.

*The Tower*

“Lantainya cukup jauh dari atas sini.” Ken mengintip lagi ke dalam ruangan. “Wow, ruangannya luas sekali. Bisa menampung puluhan orang.”

Baddy ikut mengintip. “Tak ada tangga. Bagaimana caranya kita turun.”

“Dengan ini.” Radith mengikat sebuah tali ke salah satu kawat baja bengkok yang mencuat dari tembok gedung sekolah. Dibuatnya simpul-simpul dengan jarak tertentu pada tali. “Sebagai pijakan,” jelas Radith. Diulurkannya tali tadi ke dalam ruangan.

Suara desisan pelan membuat kita memalingkan kepala. Rica si pembuat suara memicingkan matanya dan mulai mendongeng, “Seekor ular meluncur turun dari atas menara kehidupan.”

Melody menepuk-nepuk pipi Rica. “Stop, Rica. Jangan meracau lagi.”

*The Star, The Moon, The Sun*

“Jangan turun semua,” Frieska mengingatkan. “Waktu istirahat hampir habis.”

“Kita pilih perwakilan,” usul Ken. “Dari blokku, aku memilih aku.”

Radith kontan memprotes. “Hei, gue juga mau turun!”

“Kau nanti saja, masih banyak kesempatan di lain waktu,” tukas Ken. “Bagaimana Frans, kau mau mewakili blokmu?”

Frans menolak. “Aku tidak mau terlibat. Sejak awal aku sudah tidak suka ide balas dendam kalian.”

“Harus ada yang turun dari blok kalian!” paksa Radith.

Seorang anak mengacungkan tangan. Carada. “Gue yang turun.”

“Tinggal blok netral. Siapa wakil kalian?” tanya Ken.

Tidak ada yang mau.

“Si Jhan saja!” Haya seenak perutnya menunjuk.

*Judgement*

Kami bertiga turun. Ken duluan, lalu aku, terakhir Carada. Ruang penyimpanan itu diluar dugaan sangat bersih. Dinding betonnya lebih tebal dibandingkan dinding gedung sekolah. Sembilan lampu neon besar menerangi setiap sudut ruangan berbentuk kubus sempurna itu. Ruangan itu kosong. Tak satupun barang terlihat.

Ken terkekeh-kekeh serupa orang gila.

*The World*

Dunia berputar cepat. Kita pun pulang ke rumah masing-masing membawa otak yang berkecamuk. Rencana Ken telah dibeberkannya dengan panjang lebar. Kelompok Frans menentang keras rencana tersebut. Sayang mereka untuk kedua kalinya harus menelan pil pahit. Mereka kalah suara lagi.


(Satria Jhanuarta - Jhan)

BERSAMBUNG

1 komentar: