Cari di sini, Bos

Sabtu, 08 Juni 2013

Namaku Mei Lin

Angin bertiup kencang diiringi suara petir yang menggelegar, yang kemudian diikuti oleh turunnya hujan yang begitu deras. Aku meringkuk di bawah pohon besar sambil menggigil kedinginan. Oh ya, namaku Mei Lin, usia 16 tahun dan aku baru saja mengikuti makrab, ’Malam keakraban’ bersama para guru di sebuah hutan yang berada jauh dari tempat tinggalku. Baru beberapa jam yang lalu aku tertawa riang sambil bernyanyi-nyanyi bersama teman sekolahku, sampai akhirnya musibah itu datang menimpaku. Aku terpisah dari rombongan akibat kesalahanku sendiri, karena kenekatanku untuk melihat lebih jauh keindahan hutan yang memang belum pernah aku nikmati seperti saat ini, membuatku lupa diri hingga akhirnya tersesat.


Penderitaanku terasa semakin bertambah ketika perut ini mulai memberontak, ya… aku baru ingat kalau dari tadi siang hingga larut malam perutku belum terisi apapun. Apakah aku akan mati di sini? Tidak…!! Aku masih ingin hidup, aku tidak ingin mati di sini. Bagaimana kalau mereka tidak menemukan mayatku? Pikiran-pikiran mengerikan itu silih berganti mengisi otak kecilku, membuatku tak bisa berpikir jernih karena rasa takut, lelah dan letih yang aku rasakan, ditambah lagi rasa lapar dan dingin yang menusuk tulangku, membuat tubuhku terasa begitu lemah tak bertenaga.

Tetapi ketika aku hampir putus asa, tiba-tiba saja ada secercah harapan ketika aku mendengar suara deru langkah yang terdengar sayup-sayup diantara suara butiran hujan dan petir yang saling bersahut-sahutan. “Srreetts… Sssrrreett…“ Suara langkah itu terdengar semakin nyata di telingaku.

“Tolooong…!! Tttoolloongg…!!“ Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, aku berteriak sekencang yang aku bisa, berharap ada yang bisa mendengar teriakanku. Tetapi suara gadis kecil yang sudah kelelahan sepertiku jelas saja tidak mungkin bisa mengalahkan suara hujan dan petir yang saling bersahutan.

Sepertinya memang sudah tidak harapan lagi, tak akan ada satupun orang yang datang menolongku. Aku duduk bersimpuh sambil memeluk lututku untuk mengurangi rasa dingin yang menyiksa tubuhku.

Tidaaak…!! Aku tidak boleh menyerah di sini, aku harus tetap hidup. Masih ada harapan untukku melewati malam yang menyedihkan ini. Suara langkah kaki itu terdengar sangat dekat dan itu berarti ada orang di sekitar sini, kalau mereka tidak bisa menemukanku, aku pasti bisa menemukan mereka. Aku berdiri dengan tekad yang kuat, walaupun tubuhku terasa mulai mati rasa, tetapi aku harus tetap berjuang agar bisa keluar dengan selamat dari hutan ini.

Dengan langkah yang tertatih-tatih, aku menerobos hujan dan angin yang seolah ingin menghempaskan tubuh mungilku. Ternyata tidak percuma aku mengikuti instingku, setelah beberapa menit aku berjalan, aku melihat dari kejauhan sebuah gubuk kecil yang diterangi lampu canting yang menyala terang diantara kegelapan.

Masih dengan langkah yang tertatih, aku mendekati gubuk tersebut, berharap ada orang yang bisa menolongku.

“Jadi… besok lo sama Jhon tunggu di luar, kalian mengerti!!!” ujar seorang pria sambil menunjuk kedua orang yang tampak begitu patuh kepada dirinya, “dan lo harus siap di dalam mobil!!!” katanya lagi, kali ini ditujukan kepada pria berkepala plontos.

“Kita mulai beraksinya jam berapa, Bos?!” tanya seorang pria berambut panjang.

“Tengah malam besok,” jawab pria tersebut tanpa ada ragu sedikitpun.

Harapan dan keyakinanku yang awalnya menggebu-gebu sirna sudah, ketika secara diam-diam aku mengendap, mencoba melihat apa yang sedang dilakukan oleh keenam pria yang berada di dalam gubuk tersebut. Dan apa yang kulihat benar-benar tidak sesuai harapan, bahkan kalau aku berlama-lama di sana, bisa-bisa aku akan mati lebih cepat. Karena aku menyadari keenam pria tersebut ternyata adalah buronan polisi yang beberapa waktu lalu berhasil merampok Bank Mandiri. Wajah mereka sudah tak asing lagi, karena sering menghiasi layar kaca maupun media cetak.

Aku sadar, kalau aku harus segera pergi meninggalkan gubuk tersebut demi kesalamatanku. Walaupun kecewa, dengan perlahan aku kembali melangkahkan kakiku, berniat menjauh dari gubuk tersebut. Sial bagiku, ketika aku baru beberapa langkah menjauh dari gubuk tersebut, tiba-tiba saja kakiku tersangkut di akar pohon, membuat keseimbangan tubuhku tidak stabil dan akhirnya akupun terjatuh. “Aaauww…!!“ aku menjerit cukup keras sambil memegangi pergelangan kakiku yang terasa begitu sakit.

“Siapa di luar?!!” suara yang cukup lantang terdengar dari dalam gubuk tersebut, membuat bulu kudukku terasa berdiri disela-sela tetesan hujan yang tiada henti-hentinya membasuh tubuhku yang sudah basah kuyup.

Aku berusaha bangun, tetapi rasa nyeri di kakiku membuat tubuhku tertahan, sepertinya kaki kananku terkilir akibat terjatuh barusan. Sebelum aku sempat berdiri, tiga orang pria keluar dari dalam gubuk sambil membawa senjata di tangan mereka. Seorang pria bertubuh paling besar dengan otot lengannya yang begitu kokoh, tampak sedang memegang senjata laras panjang, sementara dua rekannya memegang belati yang cukup panjang untuk mengoyak tubuhku.

“Ternyata hanya seorang bocah! Karman, Sigit, kalian tunggu di sini!” ujar pria tersebut memerintahkan kedua temannya, dan kemudian dengan langkahnya yang lebar, ia menghampiriku yang sudah tak berdaya.

Aku tak berani menatapnya saat ia sudah berada di depanku.

“Cantik juga!” gumamnya, yang membuat tubuhku terasa merinding. “Ayo ikut aku, dan jangan coba-coba untuk memberontak, apa lagi berusaha kabur dariku kecuali kamu sudah bosan hidup, kamu mengerti?!!” ia mengancamku dengan tatapan yang sangat mengerikan untukku. Karena rasa takut yang menderaku, sehingga aku hanya mengangguk menuruti semua keinginan pria tersebut.

“Hanya seorang anak gadis, Bos!!” ujar pria tersebut ketika ia telah menyeretku ke dalam gubuk dan kemudian mengikat kedua tanganku.

“Hmm…“ Pria yang dipanggil bos tersebut tersenyum menyeringai ke arahku sambil memainkan belati di dagunya. “Siapa nama kamu, Nona manis?” tanyanya sambil mencengkeram kedua pipiku dengan satu tangan.

“Meee… Mei Liiinn, Pak! Tolong lepasin saya!” jawabku terbata-terbata sambil memohon.

“Ck… Ck… Ckk…“ sang Bos berdecap sambil menggelengkan kepalanya. “Jangan pernah bermimpi, Manis! Sebaiknya kamu jawab pertanyaanku, mengerti?!!” ancamnya sambil menodongkan pisau di depan wajahku. “Atau kamu mau aku cabik-cabik muka kamu yang cantik itu dengan pisau ini?” lanjutnya sambil memainkan belati tersebut di depan wajahku. Tak tahan, akhirnya akupun menangis.

Melihatku menangis, mereka malah tertawa, seolah mereka melihatku sedang menghibur mereka, membuat hati kecilku menjerit meminta tolong. Namun kepada siapa?

“Gimana caranya kamu bisa berada disini? Padahal inikan ada di tengah-tengah hutan, bahkan orang asli daerah sinipun tidak ada yang berani masuk sejauh ini, tetapi kamu ...? Hmm, nyalimu besar juga ternyata!” Entah itu sebagai pujian atau sebagai hinaan karena kebodohanku yang nekad menyelusuri hutan hingga akhirnya berujung seperti saat ini.

“S-saya… terpisah dari rombongan!” kataku memberanikan diri.

“Rombongan?!! Dimana rombongan kamu sekarang?”

“Saya tidak tahu, saya terpisah dari mereka!”

Raut wajah si Bos yang tadinya tenang, kini tampak seperti orang yang sedang kebingungan. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Tapi tiba-tiba saja ia mendekati keempat anak buahnya, seolah sedang mengajak mereka berdiskusi.

“Bagaimana menurut kamu, James?” si bos bertanya kepada orang yang tadi menyeretku masuk ke dalam gubuk ini. Pria yang dipanggil James tampak berpikir sejenak sambil menatapku dalam-dalam, seolah ia melihatku sebagai ancaman yang harus segara disingkirkan agar aku tidak membahayakan kelompok mereka.

“Lebih baik kita bunuh dia segera, dan bangkainya kita buang ke sungai biar buaya-buaya muara yang ada di pinggir sungai yang mencabik-mencabik tubuhnya.”

Mendengar ucapan, James tubuhku terasa menggigil, rasanya dunia seperti mau kiamat saja. Apakah aku memang harus mati di tangan mereka dengan cara tragis seperti itu? Kalau seandainya aku lebih dulu menyadarinya, mungkin aku tak akan pernah mau mengejar suara langkah kaki mereka.

“Tidaak…!“ Seseorang langsung memotong ucapan James. “Anak itu tidak boleh kita bunuh, dia tidak berdosa dan dia kesini bukan atas kemauannya. Lebih baik kita lepaskan saja anak itu, karena pastinya rombongan mereka sekarang sedang mencarinya, bisa-bisa persembunyian kita bisa ditemukan.” Seorang pria yang sedari tadi tampak diam mulai mengangkat suaranya, membuatku sedikit bernafas lega, tetapi itu belum selesai.

“Bodoh! Bagaimana kalau dia menceritakan keberadaan kita di sini?”

“Tapi kita bisa menutup matanya dan saya yakin dia tidak mungkin hafal tempat ini, karena lokasi kita berada di tengah hutan, dan siapa juga yang akan percaya dengan perkataan bocah SMA seperti dia.”

“Cukup-cukup!!” bentak si Bos meleraikan pertengkaran anak buahnya. “Kalau menurut kamu apa, Jhon?” ujar si Bos beralih ke anak buahnya yang lain.

“Ehmm…“ Pria bertubuh gemuk yang bernama Jhon menarik nafas sambil memperhatikanku, entah kenapa, aku merasa ia akan semakin mempersulit keadaanku, karena tatapannya yang tajam seolah ingin menelanjangiku. “Alangkah baiknya kalau untuk sementara waktu kita jadikan gadis cantik ini untuk melayani kita malam ini, setelah itu baru kita pikirkan lagi langkah selanjutnya. Apakah gadis ini layak untuk hidup atau tidak!!” Kalimat yang terdengar datar tetapi sengat mengerikan di telingaku.

“Aku tidak setuju!! Bos, pikirkanlah matang-matang, anak ini tidak berdosa dan tidak masuk dalam rencana kita…“ potong Bram yang dari tadi terus membelaku sambil mengepalkan kedua tangannya tanpa memperdulikan teman-temannya yang mulai terpancing emosi.

“Tapi sekarang dia sudah masuk dalam rencana kita, Bram!” suara lantang si Bos, membuat harapanku untuk kedua kalinya pupus sudah. Aku yang berharap akan ada orang yang menyelamatkanku, dan harapan itu akan menjadi sia-sia saja, karena nasibku akan ditentukan di dalam gubuk ini.

Karena kesal, Bram meninggalkan gubuk tersebut, dan memilih berjaga-jaga di luar menggantikan kedua temannya yang sebelumnya ditugaskan menjaga di luar, untuk mengawasi kalau ada orang lain selain diriku. Bagaimanapun juga mereka adalah buronan, sehingga mereka harus selalu berhati-hati.

“Tidaak! Jangan! Saya mohon, Pak!!” aku mengais-ngaiskan kedua kakiku, berusaha menghindar ketika seorang pria yang biasa dipanggil ‘Bos’ mendekatiku sambil memainkan pisau lipatnya di hadapanku.

“Hehehe… tenanglah cantik, kami tidak akan menyakiti kamu asalkan kamu mau menuruti semua perintah kami. Dengan begitu kamu akan selamat dan kamipun akan merasa senang malam ini!” katanya sambil melucuti pakaiannya sendiri hingga ia telanjang bulat di depanku.

Mataku mendelik saat tanpa sadar aku melihat senjata pamungkasnya yang berada diantara kedua pahanya. Penis itu sungguh besar, menggelantung bebas dan terlihat begitu mengancamku, membuatku semakin ketakutan. Tetapi pisau yang berada di leherku menghentikan semua gerakan tubuhku yang ingin memberontak dari mereka. Si bos terseyum senang saat siasatnya untuk menakut-menakuti diriku berhasil.

Rasanya ini seperti mimpi, dan seandainya saja ini memang benar-benar mimpi buruk, aku berharap agar segera terbangun dari mimpi yang menyiksaku ini. Tapi tentu saja itu hanya harapan kosong. Tanpa bisa berbuat apa-apa dengan tangan terikat ke belakang, Si bos mendorong tubuhku hingga aku terlentang dan kemudian telapak tangannya yang besar itu, bahkan ukurannya mungkin dua kali lipat dari tanganku, terasa mulai merayap dari betisku hingga ke pangkal pahaku. Ia menatapku dengan tajam, seolah ingin langsung memakanku bulat-bulat.

“Hhmpp… hmmpp…“ aku kembali berusaha menghindar ketika bibirnya yang tebal berusaha menyumbat bibirku. Tetapi ketika salah satu jarinya yang besar menekan selangkanganku, tiba-tiba saja tubuhku terasa menjadi kaku, seolah tubuh ini tak memiliki tulang untuk kugerakkan.

Tubuhku yang memang selama ini tidak pernah disentuh oleh pria manapun, membuatnya menjadi sangat sensitif dengan sentuhan. Apalagi si Bos barusan menyentuh bagian tubuhku yang paling sensitif, sehingga aku hanya dapat melotot tanpa melakukan gerakan penolakan layaknya orang yang sedang diperkosa. Melihat ada celah dari diriku, si Bos langsung melumat bibirku, bahkan kurasakan lidahnya menjulur masuk ke dalam mulutku, menyapu semua rongga-rongga mulutku dan tidak lama kemudian ia melepaskan bibirku.

“Aku paling tidak suka dilawan, kalau kamu terus-terusan menolak, aku terpaksa membunuhmu dengan ini. Tubuhmu akan aku cabik-cabik dengan pisau ini, lalu mayatmu akan aku buang di ujung sungai sana, biar bangkai tubuhmu dimakan oleh buaya yang ada di sana.” Ia melotot, mencekik leherku cukup keras, membuatku kesakitan.

Aku tak berani lagi membantahnya, sehingga kubiarkan saja saat ia kembali melumat bibirku. Dalam keadaan seperti ini, aku lebih memilih kehilangan kesucianku dibandingkan harus mati mengenaskan di hutan. Melihat aku yang sudah tak berdaya, si Bos makin meningkatkan serangannya, ia membuka satu persatu kancing seragamku, lalu ia menyingkap braku ke atas sehingga payudaraku yang berukuran 34B terekpose dihadapan kelima pria tersebut.

“Oii… susunya amoy ini kencang sekali!” tiba-tiba dari belakang ada yang nyeletuk, membuat wajahku memerah menahan malu dan amarah yang sudah membuat dada ini terasa sesak.

“Tenang, James, nanti kita juga kebagian!! Hahaha… “ timpal yang lain.

Aku tak  peduli dengan celotehan mereka yang sedang melecehkanku, walaupun memang harus kuakui ucapan mereka sedikit mengganggu pikiranku. Entah kenapa aku mulai menikmati posisiku saat ini, dimana aku berada diantara lima pria dewasa yang sedang mengiinginkan tubuhku.

Lamunanku buyar ketika aku rasakan telapak tangan si Bos yang besar meraih payudaraku, ia meremas-remasnya dengan kuat sambil terkadang menjepit putingku dengan kedua jarinya. “Aahkk... sakit! Pelan-pelan, Pak!! Hmmpp…“ rintihku disela-sela aktivitas si Bos yang sedang menggerayangi tubuhku.

Sepertinya salah satu anak buah si Bos sudah tidak sabar lagi ingin menyentuhku, kurasakan telapak tangan seseorang entah milik siapa sedang menggerayangi paha bagian dalamku, terus naik hingga menyingkap rok coklat yang aku kenakan. Kurasakaan telapak tangannya yang dingin menyentuh pinggiran selangkanganku, dan kemudian menyelusup masuk menyentuh bibir vaginaku. “Aahhkk… Hhmmppp… “ aku mendesah kegelian merasakan jari tangan tersebut yang semakin nakal menggelitiki selangkanganku.

“Wa… wa… wa… ternyata amoy kita terangsang juga, Bos!! Lihat nih, jariku sampe basah kuyup kayak gini, gara-gara memek amoy.”

Aku melihat ke arah Karman yang sedang mengacungkan jari telunjuknya ke arah teman-temannya. Aku mendengus kesal, tetapi harus kuakui sedari tadi vaginaku memang kurasakan seperti mengeluarkan cairan yang tak dapat aku hentikan.

Aku bisa sedikit bernafas lega ketika si Bos melepaskan pagutannya, sehingga aku bisa kembali menghirup udara segar. Tetapi itu tidak bertahan lama, penderitaanku kembali berlanjut. Si Bos membuka tali di kedua tanganku dan kemudian ia membuka seutuhnya bajuku berikut dengan braku, kemudian ia melepaskan rok dan disusul dengan celana dalam berwarna krem yang kukenakan. Kini aku nyaris telanjang bulat, hanya mengenakan sepatu dan kaos kaki yang melekat di tubuhku, itupun tidak bertahan lama, karena Jhon dengan tangkasnya membuka sepatu dan kaos kakiku juga.

Aku kemudian ditidurkan telentang di atas pangkuan James, sementara kedua kakiku dibuka lebar dengan posisi ditekuk. Si Bos mengambil jatah pertama vaginaku, ia merunduk sehingga wajahnya sejajar dengan bibir vaginaku, dan sedetik kemudian aku rasakan hembusan nafasnya yang hangat menerpa bibir vaginaku, dan kemudian disusul oleh sapuan lidahnya.

“Uhhhkk… Jangan disitu... geli! Aagghh… aaagghh… “ aku merintih tak tertahankan saat lidah si Bos menggelitik bibir vaginaku. Ia menyedot-nyedot sambil sesekali menyentil klitorisku dengan lidahnya.

James yang sudah sangat menginginkan diriku, segera membuka celananya dan kemudian menyodorkan penisnya ke arahku. “Kalau kamu mau selamat, cepat kulum penisku!!”

Di bawah ancamannya, aku tak berkutik kecuali menuruti kemauannya. Perlahan kugenggam penisnya, terasa hangat dan kaku, lebih besar dibandingkan kepunyaan si Bos yang sudah dari awal membuka pakaianya di hadapanku.

James kembali memaksaku, ia mendorong penisnya di depan bibirku, memintaku untuk mengecup dan menjilatinya. Kurasakan asin di ujung kepala penisnya ketika aku mencoba menyentuh dengan ujung lidahku. Walaupun bau khas itu sedikit mengganggu penciumanku, tetapi aku tetap berusaha memanjakan penisnya dengan jilatan-jilatan seperti yang ia perintahkan. Perlahan kucucup kepala penisnya dengan lembut sementara telapak tanganku membelai batang penisnya yang besar berurat.

“Bagaiman, Manis, kamu menyukainya bukan?” ia meledekku karena melihat diriku yang mulai terbiasa dengan penisnya, bahkan tanpa ia minta, aku mulai memasukkan penis itu ke dalam mulutku, membuatku merasa malu sendiri, tetapi sudah kepalang tanggung, pikirku. Toh kalau dia keluar lebih cepat, itu akan memberi keuntungan bagiku.

Aku menjadi semakin bersemangat mengulum penisnya, walaupun ini pengalaman pertama, tetapi ternyata tidak begitu sulit bagiku. Aku mengisap, menyedot dan sesekali menjilati batang penisnya. “Oohggkk… Amoy, seponganmu enak sekali!!” ceracau James merasakan service dari mulut dan lidahku.

Konsentrasi mengocoku tiba-tiba saja buyar ketika kurasakan darah dari dalam tubuhku terasa mendidih. Tubuhku bergetar hebat, saking hebatnya, aku sampai mengggigit bibirku sendiri untuk menahan gelombang tersebut. Tetapi apa daya, aku tak mampu menahannya, dan akhirnya dengan kedua kaki yang menggelinjang hebat, tepat di bawah sana, di selangkanganku, perlahan aku mengeluarkan cairan cintaku yang amat banyak. Si Bos dengan tangkasnya menyeruput cairan tersebut hingga tak bersisa, dan kemudian membersihkannya, membuat vaginaku kembali terasa kering.

Pria dengan tato naga itu mengangkat wajahnya dan kemudian tersenyum. “Bagaimana, Manis, apa kamu menyukai permainanku? Ini belum seberapa, nanti kamu akan merasakan yang lebih nikmat dari ini! Hehehe…“ Ia tertawa, menontonkan barisan gigirnya yang kuning dan tidak rata di hadapanku.

Mendengar ucapannya barusan membuat tubuh merinding, aku tahu apa yang ia maksudkan, tetapi aku tak bisa menghindar lagi. Toh aku juga mulai menyukai permainan mereka, walaupun hati kecil ini masih belum bisa menerima seutuhnya.

“Tolong jangan kasar, soalnya saya masih perawan!!” pekikku ketakutan saat si Bos mulai menindih tubuhku.

“Tenang, kamu bakalan menyukainya kok. Aku akan bermain lebih lembut dari biasanya.“ ia menjanjikan.

“Gluukk…“ aku meneguk air liurku saat kurasakan si Bos mulai menempelkan penisnya di daerah bibir vaginaku. Pertama-tama ia menggesekannya terlebih dahulu dan kemudian beberapa kali ia mendorong penisnya walau tidak sampai masuk ke dalam tubuhku.

Perlahan tapi pasti, dorongannya semakin lama semakin kuat. Aku menjerit kecil saat kepala penisnya berhasil membelah bibir vaginaku, dan kemudian ia kembali menariknya hingga di ujung penisnya dan kemudian ia kembali mendorongnya dengan kedalaman yang sama hingga aku mulai menikmati permainannya. Urat-urat penisnya yang tebal terasa menggesek dinding vaginaku, merangsang vaginaku untuk mengeluarkan pelumas lebih banyak lagi sehingga penis itu semakin leluasa menjamah bagian dalamnya.

“Ohhkk… aaggkkh…“ aku mengerang tak tertahankan. Vaginaku terasa ngilu saat si Bos menekan pinggulnya lebih dalam lagi.

Si Bos mendekatkan wajahnya ke wajahku dan kemudian ia memberiku kecupan lembut di bibir. Beberapa saat aku membalas pagutannya untuk mengurangi rasa sakit di vaginaku. “Tahan ya, Cantik, ini sedikit menyakitkan!!” Katanya di sela-sela melumat bibirku dan kemudian, dengan sebuah dorongan kuat, langsung membenamkan seluruh batang penisnya ke dalam tubuhku. Aku memekik kesakitan, meronta, berusaha mendorong tubuhnya agar menjauh.

“Aauuww… hhmppp… “ Dalam keadaan mulutku yang dibekap oleh bibirnya, hanya suara itu yang dapat aku keluarkan seiring dengan air mataku yang meleleh keluar.

Seolah mengerti dengan penderitaanku, si Bos mendiamkan penisnya beberapa menit hingga vaginaku bisa menyesuaikan ukuran penisnya yang cukup besar untuk gadis perawan sepertiku. Perlahan ia kembali mengecup wajahku, menciumi kedua mataku, hidung, hingga daun telingaku ia gelitik dengan lidahnya. Perlahan rasa ngilu di selangkanganku mulai mereda, sehingga aku mulai dapat menikmati kerasnya penis si Bos di dalam tubuhku.

Dengan sangat hati-hati ia menarik penisnya, sedikit membuat vaginaku ngilu tetapi juga membuat vaginaku terasa nyaman dengan adanya benda besar yang menyumbatnya.

“Ayo, Manis, ini belum selesai!!” ujar James yang kemudian kembali memberikan penisnya ke hadapan wajahku. Kuraih penis yang tadi sempat aku nikmati dengan mulutku itu, kembali kukocok perlahan dan kemudian kembali kumasukkan ke dalam mulutku.

Semakin lama tempo permainan kami menjadi semakin memanas. Si Bos dengan tubuh telanjangnya yang bermandikan keringat tampak semakin bersemangat menyetubuhiku, begitupun juga dengan diriku yang sebenarnya sudah sangat kelelahan, tetapi sangat menikmati permainan malam ini. Karman, Sigit dan Jhon bergantian memintaku mengocok penis mereka dengan tanganku, sambil sesekali mempermainkan payudaraku yang menggantung indah.

Lama kelamaan akhirnya tubuhku tak tahan juga, dan akhirnya aku dibuat orgasme oleh mereka berlima. Tubuhku mengejang tak beraturan, bahkan penis James yang berada di dalam mulutku sempat terlepas saking aku menikmati gejolak orgasme yang kurasakan.

“Saking nikmatnya sampe mulet-mulet gitu ya, Non?” kata Jhon melecehkanku sambil meremas payudaraku dengan sangat kencang sehingga aku mengaduh kesakitan.

Tak lama kemudian si Bos mencabut penisnya yang berlumuran cairan cintaku dan darah segar yang kutahu itu adalah darah perawanku. Kini giliran si Bos tidur terlentang, ia memintaku untuk berganti posisi woman on top. Tanpa harus diminta untuk kedua kalinya, aku segera menaiki penis si Bos dengan bimbingan Karman dan Sigit. Perlahan penis si Bos kembali terbenam ke dalam tubuhku.

“Ayo digoyang, Manis!!” pintanya.

Aku pun segera menggoyang pantatku, naik turun, maju mundur, ke kiri dan ke kanan. Semakin lama gerakanku menjadi semakin cepat, membuat si Bos tampak kewalahan menikmati goyangan ngeborku. Jhon dan Sigit berdiri disamping kiri dan kananku sambil menyodorkan penis mereka ke hadapanku. Aku tahu apa yang mereka inginkan sehingga aku segera meraih kedua penis tersebut dengan kedua tanganku dan mulai mengocoknya lembut.

“Aahkk… aahkk… aku keluar lagi, Pak!!” rintihku parau, tubuhku kembali bergejolak di posisiku saat ini.

“Tunggu, Sayang, aku juga mau keluar!!” teriak si Bos sambil mencengkeram pantatku dengan sangat erat, dan kemudian ia menghentak kuat pinggulnya ke atas ketika aku sedang ingin menurunkan tubuhku, membuat penisnya terbenam semakin dalam di liang vaginaku. Dan pada saat itu juga, kurasakan semburan hangat spermanya menyirami vaginaku seiring dengan orgasmeku yang masih melanda.

Tubuhku langsung  lunglai ambruk ke samping tubuh si Bos dengan nafas tersengal-sengal. Belum hilang rasa lelahku, tiba-tiba saja dari belakang seseorang memposisikan tubuhku menungging, dan kemudian kurasakan sebuah benda tumpul menyeruak masuk, memaksa bibir vaginaku kembali terbuka.

Jhon menyetubuhiku dari belakang sambil menampar-nampar pantatku, ia memperlakukanku seperti pelacur jalanan, dan anehnya aku sama sekali tidak marah atas perbuatannya, bahkan aku menikmati pukulan di pantatku. Sigit merengsek kehadapanku lalu menyodorkan penisnya. Aku segera mengulum penis Sigit, sambil sesekali menggigit pelan kepala penisnya yang berbentuk jamur.

“Ohh… enak!! Memek amoy memang tidak ada duanya!!” ceracau Jhon yang tampak sangat menikmati himpitan vaginaku.

Setelah lima menit berlalu, tiba-tiba kurasakan penis Sigit bergetar di dalam mulutku dan kemudian tanpa aku sadari, Sigit menumpahkan seluruh lahar panasnya ke dalam mulutku. Aku terkejut tapi tidak sempat menghindar, sehingga aku dengan sangat terpaksa menelan sperma Sigit yang terlanjur menerjang tenggorokanku. Ternyata rasanya enak juga, sedikit asin dan rasanya begitu gurih sehingga aku memutuskan untuk menelan semuanya, dan tidak lupa aku membersihkan penis Sigit seperti yang ia minta.

“Hehehe… gimana, spermaku rasanya enak kan?” ia meledekku dengan ucapannya yang pedas.

Aku tak begitu peduli dengan ucapan Sigit kepadaku karena aku lebih berkonsentrasi untuk memuaskan orang yang sedang menyutubuhiku saat ini. Kukencangkan otot-otot vaginaku sehingga mencekik batang penisnya, dan benar saja, Jhon mengerang semakin keras hingga akhirnya kurasakan cairan spermanya meledak menyirami rahimku.

Plokkss…!! Dengan sangat kasar, Jhon mencabut penisnya. “Oke, sekarang giliran siapa, ambil nih pecun!” teriaknya.

Kurang ajar! batinku dalam hati. Aku sudah rela mereka perkosa, tetapi mereka tetap memperlakukanku seperti binatang.

Karman memintaku untuk menaiki tubuhnya. Perlahan aku menduduki penisnya, dan ternyata penis Karman lebih kecil dibandingkan dengan kedua penis lainnya yang sudah mencicipi hangatnya liang vaginaku. “Uugghkk…“ aku melenguh panjang saat vaginaku melahap penisnya secara utuh. Perlahan aku merebahkan tubuhku di atas tubuhnya, dan kemudian bibir kami saling bertautan erat.

Ketika aku mulai menikmati persetubuhan kami, tiba-tiba saja dari belakang, James yang sedari tadi sudah sangat menginginkanku, kini tampak sibuk menjamah pantatku, sesekali kurasakan jari telunjuknya menekan anusku. Aku merintih nikmat, membiarkan kenakalannya yang sedang mempermainkan anusku. Tetapi kurasakan semakin lama, jari itu terasa semakin besar saja menyentuh anusku, sehingga membuatku merasa penasaran. “Astaga...!!!“ aku terperanjat saat menyaksikan penis James paling besar diantara yang lainnya, sedang berusaha menyetubuhi pantatku yang belum pernah tersentuh benda apapun.

“Ja-jangaan!! Tolong jangan disitu!!” aku kembali memohon belas kasihannya, tetapi pria itu hanya tersenyum culas kepadaku.

Perlahan kurasakan penis besarnya menyeruak, memaksa lobang pantatku terbuka lebar untuk menyambut kepala penisnya yang berbentuk jamur itu. Aku merintih kesakitan, rasanya lebih sakit dibandingkan saat keperawananku direnggut tadi. Tubuhku yang bermandikan keringat tampak mengejang menahan rasa sakit.

“Aauw… sakit!! Pelan-pelan!! Aku mohon!!” rintihku.

Mereka sama sekali tidak memperdulikan teriakanku, bahkan dengan bersama-sama, James dan Karman menggoyang pantat mereka maju mundur, mendesak vagina dan anusku secara bergantian. Aku merintih kesakitan, walapun dengan secara perlahan aku mulai menikmati disetubuhi oleh dua orang sekaligus dengan dua lobang yang berbeda.Kuraih bibir tonggos Karman untuk meredam teriakanku, kulumat mesra untuk sedikit meredakan rasa sakitku.

Setelah kurasakan rasa sakit itu benar-benar hampir hilang dan digantikan oleh rasa nikmat yang amat sangat, barulah kulepas pagutanku untuk menarik nafas. Harus kuakui, mulut Karman sangat bau sekali. Baru saja bisa menghirup udara segar, tiba-tiba saja dihadapanku, penis si Bos sudah mengacung meminta jatahnya. Aku hanya pasrah saja, kusambut penis tersebut dengan jilatan dan hisapan mulutku.

Di posisi seperti saat ini, aku mengalami orgasme berkali-kali, bahkan aku mendapatkan multy orgasme hingga beberapa menit lamanya.

Tidak lama kemudian Karman yang sedang menyetubuhi vaginaku mengerang kuat dan kemudian menumpahkan spermanya di dalam rahimku, lalu disusul dengan si Bos yang menumpahkan spermanya di dalam mulutku. Dan lagi-lagi aku menelan sperma si Bos sama seperti saat aku menelan sperma Sigit. Kini aku hanya tinggal berhadapan dengan James yang sudah memindahkan penisnya dari anus ke lobang vaginaku. Tubuhnya yang hitam legam bergerak cepat maju mundur, membuat tubuhku terkadang terdorong ke depan dan ke belakang.

Setelah puas dengan posisi doggystyle, ia telentangkan tubuhku dan kemudian menindihku kembali. Kami berdua layaknya sepasang kekasih yang sedang memadu cinta. Kulingkarkan kedua tanganku di lehernya, sementara kakiku melingkar erat di pinggangnya, membuat penisnya yang besar terasa semakin dalam mengaduk-aduk liang vaginaku. Tidak hanya itu, entah siapa yang memulai, bibir kami berdua sudah saling berpagutan mesra.

Setelah lima belas menit lamanya, akhirnya aku dan James mendapatkan kenikmatan dengan cara bersamaan. Kurasakan cairan spermanya menerjang rahimku, sementara cairan cintaku tampak meleleh keluar dari sela-sela celah selangkanganku.

“Kamu sungguh luar biasa cantik, Amoy! Baru kali ini aku merasakan himpitan memek yang sangat kencang seperti milikmu ini!” kata James sebelum bangkit dari tubuhku, ia sempat menghadiahiku kecupan lembut di dahi.

Ternyata salah besar kalau aku berpikiran permainan malam ini akan segera berakhir. Selepas beristirahat beberapa menit, mereka kembali menggarap tubuhku habis-habisan sepanjang malam hingga mereka kelelahan dan tertidur pulas. Sementara aku dengan keadaan tubuh yang terasa remuk, hanya bisa menangis meratapi nasibku.

________________________________________________________________________


1 komentar: